Oleh karena itu, pasal santet memang dimasukkan dalam bab khusus mengenai Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana.
"Dengan demikian, bukan santetnya yang harus dibuktikan oleh penyidik karena hal itu pasti sulit. Namun, tindakan menawarkannya itu. Untuk itu, pasti penyidik punya cara sendiri," katanya.
Ketua Panja R-KUHP Benny K Harman menegaskan, dalam Pasal 295 atau "pasal santet" itu, seseorang yang baru menyatakan dan berkoar-koar memiliki kekuatan untuk melukai atau mematikan seseorang dapat masuk dalam tindak pidana.
"Membuat pernyataan saja bisa kena pidana, apalagi melakukannya. Misalnya, ada yang datang ke dukun dan meminta dukun tersebut untuk menyakiti seseorang, lalu si dukun menyatakan sanggup, itu pidana. Mengumumkan bahwa dirinya tokoh yang punya kekuatan gaib untuk hal negatif pun sudah masuk pidana," kata Benny.
Adapun kriminolog Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo, mengatakan, fenomena sosial masyarakat Indonesia yang masih memercayai keberadaan ilmu gaib dan dukun membuat pengaturan hukum santet diperlukan. Sebab, dukun atau ilmu santet cenderung digunakan untuk memberikan kerugian kepada orang lain.
"Masyarakat kita masih meyakini itu dan digunakan untuk mencelakai orang lain. Jadi, pemberlakuan pidana diperlukan pula untuk melindungi masyarakat," ujar Thomas.
Andai sudah ditetapkan sebagai hukum positif, Thomas berharap pemerintah menyosialisasikannya dengan baik, terutama kepada aparat penegak hukum yang akan menangani permasalahan itu. Masyarakat pun perlu diberi tahu agar tidak lagi memercayai santet yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
(AGNES THEODORA/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 November 2016, di halaman 2 dengan judul "Kembalinya Pasal Santet".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.