JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, terpidana kasus terorisme yang sudah bebas tak lagi didampingi oleh Densus 88.
Padahal, masih ada kemungkinan mantan narapidana itu melakukan tindakan yang sama setelah keluar dari jeruji besi.
"Secara khusus tidak ada (pengawasan)," ujar Boy, di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (14/11/2016).
Boy mengatakan, pengawasan hanya melekat pada mantan terpidana yang dicurigai masih berkomunikasi dengan kelompoknya.
Hal itu untuk mencegah pelaku melakukan aksi teror itu lagi.
"Terutama mereka yang memiliki aktivitas yang masih kedapatan melakukan hubungan dengan kelompok teror," kata Boy.
Kasus ledakan bom molotov di Samarinda, Minggu (13/11/2016), membuat publik mempertanyakan soal program deradikalisasi.
(Baca: Residivis, Pelaku Bom Gereja di Samarinda Akan Dihukum Lebih Berat)
Pelaku pengeboman, Juhanda, sebelumnya pernah divonis 3,5 tahun karena terlibat dalam bom buku di Utan Kayu, Jakarta Timur, dan percobaan peledakan di Serpong.
Boy mengakui, program deradikalisasi masih belum efektif.
"Program ini perlu dievaluasi. Mungkin masih belum efektif ke beberapa orang," kata Boy.
Ledakan terjadi di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, pukul 10.10 Wita.
Pelaku sempat melarikan diri, tetapi segera ditangkap dan dibawa ke Mapolresta Samarinda untuk diperiksa.
Akibat kejadian ini, empat anak mengalami luka bakar, salah satunya kemudian meninggal dunia.
Mereka berada di area parkir sepeda motor saat bom molotov dilempar ke sana.