Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan Korupsi Pemilihan Rektor dan Regulasi yang Rawan Intervensi

Kompas.com - 27/10/2016, 07:48 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut kasus dugaan korupsi di dunia pendidikan tinggi.

Hal ini dilakukan setelah komisi antirasuah itu menemukan indikasi adanya masalah terkait pemilihan rektor di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Namun, demi kepentingan penanganan perkara, KPK belum bersedia merinci jenis masalah dan PTN yang bermasalah tersebut.

Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih mengaku dirinya tak kaget jika ada temuan tersebut.

Sebab, Komisi X sudah sering mengingatkan Menteri Ristek dan Dikti Muhammad Nasir tentang beberapa regulasi yang mengatur tentang pemilihan rektor pada perguruan tinggi.

"Memang sudah banyak keluhan dari rakyat. Biasanya alot dan lama menentukan rektornya," ujar Abdul Fikri saat dihubungi, Rabu (26/10/2016).

Aturan mengenai pemilihan rektor tersebut tercantum pada Peraturan Menristekdikti (Permenristekdikti) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada PTN.

Pada pasal 7 huruf (a) dijelaskan bahwa Menteri dan Senat melakukan pemilihan rektor/ketua/direktur dalam sidang senat.

Sedangkan pasal 7 huruf (e) menjelaskan bahwa pemilihan rektor/ketua/direktur sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dilakukan melalui pemungutan suara tertutup dengan ketentuan: menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih sedangkan senat memiliki 65 persen hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak suara yang sama.

"Sebenarnya Komisi X sudah sering mengingatkan Menristek Dikti karena di beberapa tempat ada problematika macam-macam-lah. Karena ada prosentase 35 persen yang dimiliki oleh menteri untuk menentukan," kata Abdul.

Seharusnya, kata dia, Menristek Dikti lebih berhati-hati agar tak malah menjadi alat politik atau dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.

(Baca: KPK Usut Dugaan Korupsi Pemilihan Rektor Sejumlah PTN)

Rawan intervensi

Peraturan 35 persen hak suara menteri tersebut dinilai rawan intervensi. Dalam pemilihan rektor, terkadang calon yang terpilih bukan yang memiliki suara terbanyak dari hasil pemilihan internal (senat).

"Karena ada 35 persen hak menteri untuk menentukan. Sehingga nomor tiga sekalipun bisa jadi rektor. Karena menteri punya hak untuk menambahkan nilai," tutur Politisi PKS itu.

Abdul menambahkan, baik secara formal maupun informal, pihaknya telah mengingatkan Nasir bahwa aturan tersebut berpotensi dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.

Sehingga sebaiknya pemilihan rektor dikembalikan saja kepada masing-masing kampus. Kalaupun pemerintah ingin masuk, maka persentasenya diharapkan tak mencapai 35 persen, yang membuat pihak eksternal kampus menjadi dominan.

"Sejak awal sudah diingatkan. Tapi karena belum ada kejadian, Beliau kan selalu mengatakan tak ada permainan, tidak ada campur tangan menteri, praktik-praktik makelar hanya mengatasnamakan saja," tuturnya.

Ia pun meminta agar Nasir mengevaluasi kembali regulasi tentang 35 persen hak suara menteri tersebut serta mendengarkan aspirasi dari bawah agar pemilihan rektor lebih transparan.

Sebab, dari beberapa laporan yang masuk ke Komisi X, sebagian masyarakat mengeluhkan proses pemilihan rektor yang kerap kurang transparan.

Penerapan regulasi seperti saat ini juga berpotensi menimbulkan suasana tak kondusif di internal kampus.

Pasalnya, jumlah calon rektor yang mendapat suara terbesar dari hasil seleksi internal pada akhirnya belum tentu akan mendapat kursi rektor.

"Dengan menjaga transparansi saya kira sudah selesai. Asal transparansi dijaga, mereka akan kondusif," kata Abdul.

Wakil Ketua Komisi X lainnya, Ferdiansyah juga berpendapat serupa. Menteri, menurut dia, boleh memiliki kepentingan, asalkan untuk kebaikan bangsa dan negara.

Aturan mengenai 35 persen hak suara menteri bisa digunakan jika memang diperlukan. Namun, jika tak dibutuhkan, pemilihan rektor idealnya dikembalikan pada kampus.

"Menristek Dikti tidak perlu campur tangan kalau rektor-rektor calon terpilih benar-benar aspirasi masyarakat kampus," ujar Ferdiansyah.

Kampus beraset besar

Ketua KPK Agus Rahardjo masih enggan mengungkapkan jumlah perguruan tinggi yang tengah dimonitor Menurut dia, KPK masih dalam tahap mendalami.

Ia pun berharap mereka yang dimonitor berubah, sehingga tak berakhir sebagai tangkapan KPK.

Agus juga menyebutkan bahwa jumlah penyidik KPK yang minim, yaitu 92 orang, dinilai sebagai salah satu alasan mengapa kasus ini tak termonitor dengan baik.

"Biasanya perguruan tinggi yang asetnya besar," kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/10/2016).

(Baca: KPK: Dugaan Korupsi Pemilihan Rektor Biasanya di Universitas Beraset Besar)

Dalam kesempatan terpisah, anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ahmad Alamsyah Saragih, menuturkan, ORI sudah menerima informasi dari setidaknya tujuh PTN di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi, mengenai dugaan suap pemilihan rektor.

Menurut dia, dari informasi itu muncul nama-nama yang sama, yakni petinggi salah satu partai politik serta oknum di Kemristek dan Dikti.

Alamsyah menuturkan, dalam pemilihan di tiga PTN, pemberi informasi mengungkapkan bahwa sudah terjadi penyerahan uang.

"Besarnya bervariasi, antara Rp 1,5 miliar sampai Rp 5 miliar. Hal yang dikhawatirkan adalah jika kemudian ada kelanjutan berupa brokering (percaloan) proyek-proyek di kampus," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com