Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggota Komisi II: UU Menjamin Keserentakan Pelaksanaan Pilkada

Kompas.com - 07/10/2016, 23:00 WIB
Rakhmat Nur Hakim

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Belajar dari pengalaman sebelumnya, Komisi II DPR berupaya memastikan agar Pilkada 2017 berlangsung serentak di 101 daerah.

Pada 2015, ada pilkada yang ditunda. Semisal di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.

Penundaan itu muncul akibat adanya gugatan yang diajukan pasangan bakal calon Surfenov Sirait-Parlindungan Sinaga atas keberatan pencoretan kepesertaannya oleh KPU Pematangsiantar.

(Baca: Pilkada Ditunda, Wali Kota Pematangsiantar Kumpulkan Camat Tengah Malam)

Karena itu berbagai upaya disesuaikan pada Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, agar Pilkada 2017 dapat berlangsung serentak.

Anggota Komisi II Arteria Dahlan menyatakan Pilkada 2017 tetap bisa berlangsung serentak meski nantinya muncul banyak gugatan dari pasangan calon sebelum memasuki masa pemungutan suara.

Hal itu mengacu pada Pasal 154 ayat 12 yang berbunyi sebagai berikut: "Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara."

Menurut Arteria dengan adanya aturan tersebut maka pasangan calon yang dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) sebelum masa pemungutan suara pun, tetap bisa melanjutkan untuk dipilih.

Sebab sesuai Pasal 154 ayat 12, putusan MA bisa diabaikan bila keluar dalam rentang waktu 30 hari sebelum hari pemungutan suara.

"Jadi tetap bisa berlanjut tahapan penyelenggaraan Pilkada yang dibuat KPU itu, bisa serentak jadinya," kata Arteria dalam rapat penyusunan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (PerBawaslu) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/10/2016).

Biasanya gugatan yang masuk ke Bawaslu nanti terkait adanya politik uang yang dilakukan oleh pasangan calon atau tim suksesnya.

Meski demikian, menanggapi hal tersebut Ketua Bawaslu Muhammad mengatakan, penerapan Pasal 154 ayat 12 membutuhkan peraturan tambahan di PerBawaslu.

Muhammad menyatakan Undang-Undang Pilkada mengatur bila putusan MA bisa diabaikan jika keluar dalam rentang waktu yang tidak sesuai.

Jika terjadi hal itu maka yang harus dilakukan ialah kembali ke putusan awal Bawaslu sebelum digugat ke MA.

"Namun perlu dipikirkan juga bila putusan Bawaslu menyatakan tidak bersalah lantas pihak penggugat membawanya hingga ke MA dan putusan MA menyatakan bersalah, ini penyikapannya harus seperti apa," kata Muhammad.

"Terlebih kalau tergugat dinyatakan melakukan politik uang oleh MA, apa iya tetap diabaikan putusan MA itu, ini masih harus dibahas lagi," lanjut Muhammad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Anggota DPR-nya Minta 'Money Politics' Dilegalkan, PDI-P: Cuma Sarkas

Anggota DPR-nya Minta "Money Politics" Dilegalkan, PDI-P: Cuma Sarkas

Nasional
Duit Rp 5,7 Miliar Ditjen Holtikultura Kementan Diduga Dipakai untuk Keperluan SYL

Duit Rp 5,7 Miliar Ditjen Holtikultura Kementan Diduga Dipakai untuk Keperluan SYL

Nasional
Pengamat Nilai Ada Niat Menjaga Kekuasaan yang Korup di Balik Revisi UU Penyiaran

Pengamat Nilai Ada Niat Menjaga Kekuasaan yang Korup di Balik Revisi UU Penyiaran

Nasional
Istana Beri Santunan untuk Warga yang Terdampak Hempasan Heli Jokowi

Istana Beri Santunan untuk Warga yang Terdampak Hempasan Heli Jokowi

Nasional
Profil Juri Ardiantoro, Timses Prabowo-Gibran yang Jadi Stafsus Jokowi

Profil Juri Ardiantoro, Timses Prabowo-Gibran yang Jadi Stafsus Jokowi

Nasional
Pimpinan Komisi II DPR Sebut 70 Persen Komisioner KPU Se-Indonesia 'Tidak Layak Pakai'

Pimpinan Komisi II DPR Sebut 70 Persen Komisioner KPU Se-Indonesia "Tidak Layak Pakai"

Nasional
Bahas Kerja Sama Keamanan dengan Turkiye, Menko Polhukam Bicara Penanggulangan Terorisme hingga Kepolisian

Bahas Kerja Sama Keamanan dengan Turkiye, Menko Polhukam Bicara Penanggulangan Terorisme hingga Kepolisian

Nasional
Kunjungan ke Sultra, Komisi III DPR Ingin Cek Dugaan Praktik Mafia Tambang Ilegal

Kunjungan ke Sultra, Komisi III DPR Ingin Cek Dugaan Praktik Mafia Tambang Ilegal

Nasional
Soal Revisi UU MK, Disebut 'Jurus Mabuk' Politisi Menabrak Konstitusi

Soal Revisi UU MK, Disebut "Jurus Mabuk" Politisi Menabrak Konstitusi

Nasional
SYL Disebut “Pasang Badan” jika Petinggi Nasdem Minta Pejabat Kementan Dicopot

SYL Disebut “Pasang Badan” jika Petinggi Nasdem Minta Pejabat Kementan Dicopot

Nasional
Muhammadiyah Surati Jokowi, Minta Pansel Capim KPK Dibentuk Proporsional

Muhammadiyah Surati Jokowi, Minta Pansel Capim KPK Dibentuk Proporsional

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com