JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Maqdir Ismail dan timnya menguraikan poin permohonan yang digugat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada pokoknya, Maqdir meminta hakim tunggal praperadilan I Wayan Karya untuk memutuskan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka kliennya oleh KPK tidak sah menurut hukum.
"Kami meminta ketua majelis hakim untuk menyatakan bahwa surat perintah penyidikan pada 15 Agustus tidak sah dan tidak punya kekuatan mengikat menurut hukum," ujar Maqdir dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/10/2016).
Nur Alam menguji keabsahan penyelidikan, penyidikan, dan penetapannya sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan pada 2009-2014 di Sultra.
KPK dianggap tak memiliki dua bukti permulaan yang cukup untuk menjerat Nur Alam. Maqdir mempermasalahkan penyelidik kasus Nur Alam bukan dari instansi Polri maupun Kejaksaan Agung.
(Baca: Anggap Prosedur Penyidikannya Ganjil, Gubernur Sultra Ajukan Praperadilan)
Padahal, kata dia, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK maupun dalam KUHP, syarat penyelidik dan penyidik KPK harus dari kedua instansi tersebut.
"Dalam praktik hukum oleh penyelidikan yang bukan dari kepolisian, pengangkatan penyelidik independen bertentangan dengan hukum. Maka sprinlidik batal demi hukum," kata Maqdir.
Kemudian, hingga kini, KPK belum menyebutkan angka pasti kerugian negara atas korupsi Nur Alam. Menurut Maqdir, jika tak ada kerugian negara yang ditimbulkan dalam suatu perbuatan, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Ia pun mempermasalahkan penghitungan kerugian keuangan yang bukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
(Baca: Lantik Pj Bupati, Gubernur Sultra Minta Didoakan)
"Kerugian keuangan negara salah satu elemen pokok. Tanpa itu, tidak ada tindak pidana korupsi," kata dia.
Adapun salah satu hal yang fatal, menurut Maqdir. yaitu Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka tanpa sekalipun dimintai keterangan pada tahap penyelidikan.
Memang ada surat panggilan yang dilayangkan untuk Nur Alam sebanyak empat kali, tetapi dia tak bisa memenuhi empat panggilan itu. Alasannya, Nur Alam harus menghadiri acara penting yang berkaitan dengan tugas kedinasannya.
"Sudah harus dilakukan pemeriksaan calon tersangka yang berfungsi sebagai cek ricek dan konfirmasi perbuatan pidana agar tidak ada tersangkaan yang tidak wajar," kata Maqdir.
(Baca: Kasus Gubernur Sultra, KPK Periksa Dirjen Kementerian ESDM)
Keterangan Nur Alam tersebut sedianya menjadi salah satu alat bukti permulaan untuk melanjutkan atau tidak melanjutnya penyelidikan. Dengan mengabaikan keterangan Nur Alam, kata Maqdir, maka penyelidik tak memenuhi minimal dua alat bukti yang cukup untuk penetapan tersangka.
"Maka penetapan tersangka cacat hukum, harus dibatalkan atau tidak sah," kata dia.
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra selama 2009 hingga 2014.
Penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Selain itu, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
Nur Alam diduga mendapatkan kick back dari pemberian izin tambang tersebut.