Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rekonsiliasi Tragedi 1965 Dinilai Dapat Dimulai dengan Penulisan Ulang Sejarah

Kompas.com - 30/09/2016, 21:48 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Politik dan Keamanan Kusnanto Anggoro berpendapat bahwa konsep rekonsiliasi sebagai bagian dari penyelesaian Tragedi 1965 tidak akan terjadi bila menggunakan konsep rekonsiliasi ala Afrika Selatan.

Rekonsiliasi itu digagas oleh Nelson Mandela pasca-penerapan sistem apartheid.

Menurut Kusnanto, konsep rekonsiliasi ala Afrika Selatan tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan tragedi 1965 yang bersifat vertikal.

Sebab, konflik saat itu, antara negara sebagai pemegang kekuasaan dengan masyarakat yang dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sementara konflik yang terjadi di Afrika Selatan disebabkan oleh sistem apartheid atau pemisahan ras antara warga kulit putih dan kulit hitam. Dengan demikian konflik yang muncul bersifat horizontal.

Di sisi lain, menurut Kusnanto, rekonsiliasi di Afrika Selatan bisa diwujudkan karena ada perubahan rezim yang berkuasa di negara tersebut.

"Menurut saya rekonsiliasi model Afrika Selatan sulit untuk diterapkan karena tidak ada pergantian rezim," ujar Kusnanto dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Jumat (30/9/2016).

Padahal, Kusnanto melanjutkan, sudah terjadi reformasi pada 1998 yang ditandai dengan kejatuhan Presiden Soeharto.

 

"Tumbangnya Presiden Soeharto tidak menghilangkan rezim orde baru. Secara politik sulit dilakukan," ucapnya.

Kusnanto menilai, meski sulit dilakukan, namun rekonsiliasi harus tetap dilakukan oleh negara. Jika tidak, maka kasus Tragedi 1965 akan selalu menjadi beban sejarah di masa depan.

Dia menuturkan, tiga hal yang bisa dilakukan oleh negara untuk menginisiasi rekonsiliasi tersebut.

Pertama, negara bisa melakukan penulisan ulang sejarah yang selama ini dinilai masih belum jelas.

Misalnya penyebutan PKI sebagai dalang dari pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat. Sebab, sampai saat ini belum ada bukti valid yang mendukung pernyataan tersebut.

Kedua, adanya pengakuan dari negara bahwa telah terjadi kekerasan dan pembunuhan terhadap simpatisan PKI sebagai dampak politik dari peristiwa G30S tahun 1965.

Ketiga, kata Kusnanto, negara harus berani untuk meminta maaf terhadap korban maupun keluarganya yang terkena stigma hingga puluhan tahun lamanya.

Namun, ketiga hal tersebut tidak akan terjadi apabila tidak ada kebutuhan politik pemerintah sebagai faktor pendorong terjadinya rekonsiliasi.

"Rekonsiliasi tetap harus dilakukan oleh negara. Entah pengakuan atau permintaan maaf. Kalau tidak akan selalu timbul masalah. Harus ada kebutuhan politik yang bisa mendorong terjadinya rekonsiliasi," kata Kusnanto.

Kompas TV Pemerintah Akan Selesaikan Kasus HAM 1965
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com