JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Surabaya menjawab seluruh nota keberatan yang disampaikan terdakwa La Nyalla Mattalitti, dalam perkara korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur periode 2011-2014.
Dalam tanggapan eksepsi yang disampaikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (14/9/2016), Jaksa membuktikan bahwa La Nyalla patut diadili.
Dalam eksepsinya, La Nyalla dan tim pengacara setidaknya menyampaikan tiga poin keberatan. Pertama, La Nyalla merasa tidak dapat didakwa dalam perkara korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur.
Kedua, La Nyalla tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka, karena penetapan dilakukan tanpa diperiksa terlebih dahulu.
(Baca: La Nyalla Didakwa Memperkaya Diri Sendiri dan Rugikan Negara Rp 26 Miliar)
Ketiga, penyidikan terkait bantuan dana hibah Kadin Jawa Timur telah dinyatakan tidak sah dalam putusan praperadilan.
Menurut Jaksa, dalil yang disampaikan penasehat hukum sudah masuk dalam materi pokok perkara, sehingga harus dibuktikan kebenarannya oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pembuktian tindak pidana korupsi yang dilakukan La Nyalla perlu dilakukan, untuk menjawab kegalauan masyarakat atas pengaduan yang disampaikan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Selain itu, La Nyalla juga harus menerima pertanggungjawaban pidana, seperti halnya pada tersangka yang lain.
(Baca: Ini Kronologi La Nyalla Diduga Selewengkan Uang Negara)
"Kami berpendapat, eksepsi penasehat hukum terlalu prematur, sehingga patutlah dikesampingkan," ujar Jaksa penuntut di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kemudian, menurut Jaksa, penuntutan perkara La Nyalla didasarkan atas Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim Nomor 605/O.5/Fd.1/05/2016 tanggal 27 Mei 2015. Selain itu, atas Surat Penetapan Tersangka Nomor KEP-54/O.5/Fd.1/05/2016.
Menurut Jaksa, Sprindik dan Surat Penetapan Tersangka tersebut tidak terkait dengan ketiga putusan praperadilan. Dengan demikian, tidak ada putusan pengadilan yang membatalkan kedua surat yang digunakan sebagai dasar penuntutan.
Sementara itu, mengenai penetapan tersangka sebelum pemeriksaan, Jaksa penuntut menggunakan dasar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, pada 28 April 2015.
(Baca: Selain Menolak Dakwaan, La Nyalla Juga Menolak Disebut Terdakwa)
Dalam putusan MK, frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup", sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat 1 KUHAP, harus ditafsirkan sekurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Selain dua alat bukti, harus disertai dengan pemeriksaan calon tersangka, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan tanpa kehadirannya (in absentia).
"Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka," ujar Jaksa penuntut.