JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Fraksi Partai Hanura di DPR, Dadang Rusdiana menilai, tak relevan jika hasil Pemilu 2014 digunakan untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres 2019.
Usulan tersebut juga dianggap tak adil bagi partai-partai baru yang tak ikut serta pada Pileg 2014.
Mereka tak akan bisa ikut mencalonkan atau mendukung calon presiden dan calon wakil presiden.
"(Akan) ada distorsi suara rakyat. Jualan 2014 kan beda dengan jualan 2019," kata Dadang saat dihubungi, Rabu (14/9/2016).
Dengan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres yang dilaksanakan serentak, lanjut Dadang, maka calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung parpol akan berpengaruh pada suara parpol, sehingga ambang batas presiden tak lagi dibutuhkan.
(baca: PKS Anggap Tak Adil jika Hasil Pileg 2014 Digunakan untuk Usung Calon di Pilpres 2019)
Namun, jika pengusungan didasarkan pada hasil pemilu 2014, berarti pemerintah menginginkan adanya ambang batas presiden.
"Tapi tentu itu sangat aneh, karena suara perolehan parpol pada tahun 2014, variabel sosok capres/cawapres ikut berpengaruh terhadap suara parpol pada pileg 2014," kata Anggota Komisi X DPR itu.
"Berbagai survei selalu menunjukan bahwa daya tarik personal ketua umum yang dicalonkan sebagai capres melampaui elektabilitas parpolnya itu sendiri," sambungnya.
(baca: Partai Baru Terancam Tak Bisa Usung Capres pada Pilpres 2019)
Menurut dia, semua parpol seharusnya diberi ruang yang sama untuk bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden melalui koalisi yang dibentuk sebelum Pileg dilaksanakan.
"Rakyat nanti yang akan menentukan. Parpol yang tidak cermat menentukan capres/cawapres dengan sendirinya akan dihakimi oleh pemilih," tuturnya.
Sebelumnya, Pemerintah mengusulkan hasil Pemilihan Legislatif 2014 digunakan untuk mengusung calon presiden pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
(baca: Pemerintah Usulkan Hasil Pemilu 2014 Digunakan untuk Usung Calon dalam Pilpres 2019)
Hasil Pileg 2014 digunakan karena pada 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, hasil Pileg 2019 tidak bisa digunakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Jadi penentuan pemilihan presiden, kami mengusulkan sesuai dengan hasil (pileg) yang lama," kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, seusai rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/9/2016).
Terkait angkanya, lanjut Tjahjo, tetap berpegang pada Undang-Undang Pemilihan Presiden yang lama.
UU Nomor 42 Tahun 2008 mengatur, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Tjahjo mengatakan, aturan mengenai hal ini akan dirumuskan dalam draf revisi UU Pemilu yang diusulkan pemerintah dan akan segera diserahkan ke DPR untuk pembahasan lebih lanjut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.