Apakah hanya kesadaran sebagai mahluk ekonomi yang setiap harinya berhitung dengan untung-rugi dalam dunia kerja, dunia bisnis dan rimba kapital?
Dalam kesadaran yang seperti ini, apapun nama bangsanya, itu tidak bernilai lebih dibandingkan dengan profit finansial dan gaya hidup yang afluen.
Bahkan sangat mungkin orang rela menggadaikan kebanggaan sebagai bangsa demi profit dan gaya hidup. Bukankah ini yang terjadi di sekitar kita?
Apakah kesadaran kita adalah melulu kesadaran sebagai mahluk religius yang agamis, namun yang setiap harinya menggunakan agama untuk memberi pembeda antara “kita dan mereka”, yang menggunakan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok, baik secara politis, sosial dan kekuasaan?
Apakah kita ini mahluk beragama yang lupa menjadi manusia sehingga dengan agama kita justru menindas orang lain yang berbeda dengan kita?
Apakah menjadi beragama berarti kita berhenti menjadi manusia dan berhenti menjadi Indonesia?
Akankah dan bisakah kita, sembari menjadi mahluk ekonomi dan mahluk religius, juga menjadi Indonesia?
Semoga waktu masih mau menjawabnya, dan mungkin hal itu bisa dimulai ketika kita semua mau berdiri penuh hormat setiap kali Indonesia Raya dikumandangkan di mana pun kita mendengarnya dan bahkan meresapkan liriknya di dalam hati kita.
Mungkin dimulai dari situ, pintu-pintu kebaikan di negeri ini akan lebih banyak terbuka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.