Keempat, sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Jokowi sebagai kader PDI-P memiliki relasi kurang harmonis dengan internal partai yang menjadi basis politik mantan Wali Kota Solo ini.
Identifikasi dan penyebutan Jokowi sebagai "petugas partai" jelas mencerminkan hal itu. Terlepas dari aturan baku di internal bagi kader PDI-P, secara faktual Jokowi adalah presiden yang memperoleh mandat rakyat dan karena itu hanya tunduk kepada konstitusi.
Sebagai presiden pilihan rakyat, semestinya jajaran elite PDI-P lebih menghormati dan membanggakan Jokowi ketimbang kalangan non-Golkar.
Singkatnya, Jokowi bukan hanya merasa tidak nyaman di internal partainya sendiri, melainkan juga cenderung disia-siakan jajaran elite PDI-P.
Karena itu, bisa dipahami jika Jokowi menyambut gembira setiap parpol baru yang menyatakan dukungan terhadap pemerintahannya.
Bagi Jokowi, dukungan partai-partai mantan Koalisi Merah Putih tersebut tak hanya memperkuat basis politiknya di parlemen, tetapi juga meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga Jokowi bisa lebih "independen" dari tekanan PDI-P dan Megawati.
Dalam kaitan ini, deklarasi Golkar mendukung Jokowi sebagai capres 2019 harus dibaca sebagai siasat Golkar memanfaatkan kegagalan PDI-P merawat dan mengawal kepresidenan Jokowi.
Jadi, di tengah kelangkaan figur yang mumpuni, Golkar memanfaatkan pengalaman politik mereka untuk mengendalikan arah dan formasi politik nasional yang pada akhirnya lebih menguntungkan elite Golkar sendiri ketimbang siapa pun di luar Partai Beringin.
Langkah kuda
Sementara itu, deklarasi dukungan Golkar bagi pencalonan kembali Ahok sebagai gubernur DKI dapat diibaratkan sebagai "langkah kuda" Partai Beringin dalam menelikung PDI-P yang tampak terus gamang menyikapi Ahok dan pilkada DKI 2017.
Golkar bukan hanya tak memiliki kader layak jual sebagai calon gubernur DKI, melainkan juga menghitung potensi melimpahnya simpati elektoral terhadap Golkar jika Golkar mendukung Ahok.