Terlepas dari soal apakah semua itu tulus atau tidak, deklarasi dukungan bagi Jokowi untuk capres 2019 bertolak dari rasionalitas yang sama.
Artinya, jika sejumlah indikator makroekonomi, seperti tingkat inflasi yang relatif rendah, pertumbuhan ekonomi cukup menjanjikan, dan stabilitas politik terjaga, tidak ada alasan bagi Golkar tak mendukung pencalonan kembali Jokowi dalam pilpres mendatang ketika secara obyektif Partai Beringin tak memiliki figur yang menjanjikan untuk jabatan presiden.
Setelah generasi Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Aburizal Bakrie purnabakti, serta Wiranto, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh memilih membentuk partai sendiri, relatif belum muncul figur mumpuni yang mampu menjadi jangkar kepemimpinan politik, baik internal maupun eksternal Golkar.
Kedua, deklarasi prematur Golkar bisa pula dilihat sebagai cara Golkar membangun simpati publik dalam rangka meraih dukungan elektoral dengan memanfaatkan popularitas Jokowi sehingga Golkar berharap dapat meraih elektabilitas signifikan dalam pemilu legislatif yang akan datang.
Golkar ingin memperoleh kredit dari keberhasilan Jokowi-JK sehingga bisa berjaya kembali dalam meraih kursi DPR pada pemilu serentak mendatang.
Dengan memberi dukungan lebih awal bagi Jokowi, Golkar tak hanya memberi persekot politik kepada mantan Gubernur DKI ini, melainkan juga berharap dapat turut mengapitalisasi persepsi positif publik terhadap Jokowi bagi kepentingan politik Golkar.
Ketiga, deklarasi dukungan terhadap Jokowi merupakan cara Golkar membujuk Jokowi agar calon wakil presiden pendamping Jokowi dalam pilpres mendatang berasal dari Golkar.
Kegagalan beruntun Golkar dalam pilpres-pilpres sejak 2004 melatarbelakangi ini. Pada Pilpres 2004 Golkar gagal mengantar kandidat hasil konvensi Golkar, Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid), menjadi presiden.
Golkar bahkan "digembosi" jajaran struktural partai menyusul kekalahan Akbar Tandjung dalam kompetisi internal merebut tiket menjadi capres.
Meski demikian, Golkar bersama sejumlah partai pendukung Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu dan menjadi bagian koalisi besar pendukung SBY-JK.
Pada Pilpres 2009, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla yang "diceraikan" SBY mencoba peruntungan menjadi capres berpasangan dengan Wiranto.
Akan tetapi, Golkar kembali gagal meraih kursi presiden, dikalahkan SBY yang mengambil pasangan baru, Boediono, sebagai wapres.
Puncak kegagalan Golkar terjadi pada 2014. Partai bersimbol warna kuning ini tak hanya gagal mengajukan capres dan wapres sendiri, tetapi juga gagal memenangkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa yang turut diusungnya bersama-sama dengan partai-partai Koalisi Merah Putih.
Jadi, Golkar yang secara internal tengah mengalami krisis figur layak jual berharap dapat mendampingi Jokowi sebagai cawapres pada Pilpres 2019.