Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/08/2016, 16:57 WIB

Membuka kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda tentu saja tidak mudah. Perbincangan panjang telah dilakukan dan Indonesia sendiri pernah memiliki pengalaman lama, yakni terkait dengan adanya kewarganegaraan ganda warga keturunan Tionghoa.

Pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya kewarganegaraan ganda tersebut. Akibatnya, banyak warga keturunan Tionghoa harus meninggalkan Indonesia, meski banyak di antara mereka itu lahir dan tumbuh di Indonesia.

Di antara masalah sensitif yang akan muncul ketika wacana kewarganegaraan ganda ini dimunculkan adalah terkait dengan WNI keturunan Tionghoa. Hal ini tidak hanya terkait dengan sejarah masa lalu, tetapi juga apa yang terjadi belakangan.

Seiring dengan menguatnya hubungan ekonomi politik Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok (RRT), banyak warga Tiongkok datang ke Indonesia. Juga banyak WNI yang ke RRT. Ketika dibuka ruang kewarganegaraan ganda yang melibatkan WNI keturunan Tionghoa, memiliki potensi adanya ketegangan baru mengingat jumlahnya cukup besar.

Oleh karena itu, dalam membahas perlu tidaknya kewarganegaraan ganda harus melakukannya secara menyeluruh. Yang menjadi pertimbangan tentu saja bukan semata-mata agar Indonesia lebih aktif lagi di dalam percaturan global, secara ekonomi maupun budaya, melainkan juga terkait dengan isu-isu lain seperti isu pertahanan dan keamanan.

Meskipun demikian, menutup rapat-rapat kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda juga kurang arif mengingat mobilitas lintas negara saat ini sangat kuat. Pada kenyataannya, semakin banyak WNI yang menjadi bagian penting dari warga global.

Sangat disayangkan kalau interaksi yang semakin kuat itu menjadi sulit dikembangkan karena Indonesia tidak memberi ruang kepada mereka untuk tetap menjadi WNI tetapi juga memiliki keterikatan politik dengan negara lain.

Hanya saja, mengingat Indonesia juga memiliki kepentingan-kepentingan nasional yang membedakan dengan negara-negara lain, sekiranya kewarganegaraan ganda itu diberlakukan, tetap harus dilakukan secara hati-hati dan terbatas. Misalnya hanya melibatkan negara-negara tertentu yang secara politik dan keamanan tidak berpotensi bermasalah.

Kemungkinan semacam itu akan memberi kesempatan kepada banyak orang hebat Indonesia berkarya secara maksimal di banyak negara tanpa harus tercerabut identitasnya, baik secara politik maupun secara budaya. Dengan demikian, cerita tragis seperti Gloria dan Arcandra bisa dihindari.

Kacung Marijan
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga; Pernah Menjadi Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Menimbang Kewarganegaraan Ganda".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com