Mereka melakukan serangkaian pemantauan melalui pendekatan antropologi dengan mengunjungi rumah keluarga istri pertama Santoso, orangtua Basri, dan beberapa keluarga anggota kelompok Santoso yang masih hidup.
Selain itu, tim juga mendatangi tokoh-tokoh agama untuk berdialog dan menggali lebih dalam mengenai persoalan di Poso.
(Baca: Anggota Tim 13 Usul Polri Maksimalkan Fungsi Polres di Poso)
Dari hasil pemantauan, kata Busyro, secara garis besar bisa disimpulkan bahwa kelompok Santoso lahir dari sisa-sisa konflik berbasis agama yang pernah terjadi di Poso pada tahun 1998, 2000, dan 2007.
Konflik pun berubah arah, dari konflik horizonal menjadi vertikal, antara masyarakat yang bersimpati terhadap kelompok Santoso dan aparat keamanan.
Menurut Busyro, hal tersebut terjadi karena selama ini terdapat aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam menangani kelompok Santoso.
Oleh sebab itu, Busyro berpendapat, persoalan Poso tidak bisa diselesaikan hanya dengan operasi militer, tetapi harus dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan.
"Masyarakat Poso punya harapan untuk menyudahi masalah ini, terutama setelah 18 tahun mengalami situasi mencekam pasca-konflik. Mereka sudah lelah dengan kekerasan yang tidak menghasilkan solusi. Kalau tidak selesai, mereka akan menjadi masyarakat yang sakit," kata Busyro.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.