Penangkal
Menurut Doddy BU, pendiri Information Communication and Technology (ICT) Watch, Rabu (3/8), tidak ada obat instan penyembuh segala penyakit untuk menghadapi penyebaran ujaran kebencian di media sosial.
Penindakan terhadap orang-orang yang menyebarkan ujaran kebencian hanya menyelesaikan persoalan di hilir, tetapi tidak di sumber.
Idealnya, upaya mengatasi penyebaran ujaran kebencian dimulai dari pertanyaan mengapa ujaran kebencian itu marak?
Doddy punya hipotesis untuk persoalan di Indonesia. Menurut dia, sebelum reformasi 1998, kebebasan berpendapat dan pertukaran informasi diredam pemerintah sehingga kultur berdebat kritis dan beragumentasi kurang terlatih.
Ketika kebebasan berekspresi terbuka setelah reformasi, orang-orang belum sepenuhnya paham bagaimana mengungkapkan ekspresinya, tetapi tetap menghormati orang lain.
Sementara itu, pada saat bersamaan, pengguna internet di Indonesia mulai tumbuh, tetapi tidak ada upaya mendorong literasi bermedia sosial.
Kaum "pribumi" digital, orang-orang yang lahir menjelang atau setelah milenium kedua, di Indonesia, minim informasi soal bagaimana kode etik bermedia sosial atau berinternet yang sehat.
Akibatnya, tidak sedikit netizen atau pengguna internet yang tidak tahu batasan antara kritik, ujaran kebencian atau bahkan ujaran berbahaya yang mengarah pada ajakan untuk mencelakakan orang lain.
Oleh karena itu, Doddy berpendapat solusi yang paling pas ialah mendorong gerakan literasi media sosial.
Di negara-negara Eropa yang konon kehidupan demokrasinya sudah lebih matang dibandingkan Indonesia, ujaran kebencian juga mendapat perhatian serius.
Komisi Eropa pada pengujung Mei 2016 "memaksa" perusahaan teknologi informasi besar menerapkan kode perilaku dalam menghadapi ujaran kebencian ilegal di dunia maya. Facebook, Twitter, Youtube, dan Microsoft menyepakati beberapa langkah, termasuk menghapus konten berisi ujaran kebencian dalam waktu kurang dari 24 jam (Europa.eu 31/5/2016).
Langkah ini juga bukan bebas dari kritik karena ada pengamat yang mempertanyakan batasan "ujaran kebencian".
Pengajar Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Budiawan, berpendapat, sensor konten oleh penyedia layanan media sosial itu secara teknis sukar diterapkan.
Pasalnya, sensor konten akan dilakukan secara mekanis dengan berdasar pada kata kunci tertentu yang bisa saja tak tepat konteks.