JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung telah mengisolasi sejumlah terpidana mati yang akan menghadapi regu tembak di tiang eksekusi. Kejaksaan Agung pun memastikan waktu eksekusi semakin dekat.
Namun, sejumlah terpidana mati yang telah diisolasi itu masih memiliki harapan lolos dari maut dengan meminta pengampunan presiden, yakni dengan grasi.
Adapun yang diketahui mengajukan grasi yaitu Seck Osmane (Senegal), Merry Utami (Indonesia), dan Zulfiqar Ali (Pakistan).
Seck Osmane
Seck adalah warga negara Senegal yang divonis hukuman mati pada 2004. Ia dihukum terkait kepemilikan 300 gram heroin tahun 2004.
Pengacara Seck, Farhat Abbas, mempertanyakan langkah Kejagung yang terburu-buru mengisolasi Seck, padahal yang bersangkutan belum sekalipun mengajukan grasi.
"Kami pernah ajukan grasi tapi ditolak karena bertentangan dengan undang-undang. Kami minta pada Presiden melalui Jaksa Agung agar memberi kesempatan kepada Osmane," ujar Farhat.
(Baca: Jaksa Eksekutor Diberangkatkan ke Nusakambangan untuk Eksekusi Mati)
Rencananya, pengajuan grasi itu tersebut akan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/7/2016). Farhat menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi sebagai dasar permohonannya.
Dalam putusan itu, upaya grasi tidak terbatas jangka waktu. Seck baru mengajukan grasi setelah vonis dijatuhkan pada 2010. Menurut Farhat, Seck tetap bisa mengajukan grasi.
"Apabila kejaksaan masih melaksanakan secara paksa tanpa melihat pertimbangan hal lain, kami menganggap ini adalah melanggar HAM dan merupakan kesalahan kekuasaan," kata Farhat.
Merry Utami
Merry juga mengajukan grasi melalui Pengadilan Negeri Tangerang. Pengacara Merry, Troy Latuconsina mengatakan, kliennya belum pernah mencoba pengampunan presiden, tahu-tahu sudah masuk ruang isolasi di Nusakambangan.
"Kami sudah putus komunikasi karena dipindahkan mendadak tanpa pemberitahuan," kata Troy.
Merry Utami ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman mati kepadanya tahun 2003. Namun, Komnas Perempuan meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan lembar fakta terkait Merry.
(Baca: Amnesty International: Kepemimpinan Jokowi Direndahkan dengan Hukuman Mati)
Berdasarkan lembar fakta Komnas Perempuan, Merry terindikasi korban perdagangan orang. Merry dititipkan tas di Nepal oleh kekasihnya, Jerry, melalui Muhammad dan Badru.
Saat diserahkan, Marry curiga karena tas tersebut lebih berat dari biasanya. Ia mendapat jawaban bahwa itu adalah tas kulit berkualitas bagus. Merry membawa tas itu ke Jakarta pada 31 Oktober 2001 seorang diri melalui bandara Soekarno-Hatta.
Merry pun ditangkap di Bandara Soekarno Hatta karena membawa 1,1 kilogram heroin yang terdapat di dinding tas.