JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menuturkan, dari beberapa hasil monitoring dan laporan sejumlah organisasi, ada beberapa kasus yang diduga melanggar prinsip fair trial yang masuk daftar eksekusi mati.
Pertama, pemuda asal Riau, Yusman Telaumbanua. Yusman merupakan buruh perkebunan yang dijatuhi hukuman mati atas pembunuhan tiga orang pada April 2013 di Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara.
"Menurut polisi, dia lahir pada tahun 1993. Namun, Yusman mengaku lahir pada tahun 1996, yang berarti dia bisa jadi berusia di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan dan ketika dia dijatuhi hukuman mati," kata Supriyadi melalui keterangan tertulis, Sabtu (23/7/2016).
Yusman tidak mengajukan banding karena dia tidak diberi tahu oleh pengacaranya bahwa dia memiliki hak untuk mengajukan banding.
"Pembela Yusman yang baru saat ini mendorong upaya hukum peninjauan kembali (PK) berdasarkan novum bukti forensik gigi Yusman yang pada saat disidik ternyata masih anak-anak," sambung Supriyadi.
Kedua, terpidana mati seorang pekerja rumah tangga asal Filipina, Mary Jane Veloso.
Mary Jane dijatuhi hukuman mati karena perdagangan narkoba pada tahun 2010.
Eksekusi matinya dihentikan pada menit terakhir pada 29 April 2015 sehingga dia bisa memberikan kesaksian di persidangan atas orang yang dituduh memperdayanya untuk menjadi kurir narkoba.
"Mary Jane diduga kuat sebagai korban perdagangan manusia," tutur Supriyadi.
Yang ketiga adalah Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan yang juga merupakan pengusaha garmen.
Ia ditangkap di rumahnya di Provinsi Jawa Barat pada 21 November 2004, dan didakwa dengan kepemilikan 300 gram heroin.
Putusan hukuman mati Zulfiqar dikukuhkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2006.
Saat disidik, ia hanya memahami sedikit bahasa Inggris, juga menerima bantuan penerjemahan terbatas dan hanya mendapat terjemahan ke dalam bahasa Inggris selama proses persidangan.
Supriyadi menambahkan, beberapa saksi persidangan bahkan memberikan pengakuan telah diintimidasi dan disiksa oleh penyidik.
Hasilnya, mereka bersama-sama mencabut keterangan pada saat di BAP.
"Dalam bukti rekaman persidangan yang dilampirkan kuasa hukum Zulfikar Ali pada memori kasasi, terungkap bahwa terpidana mati, saksi Ginong Pratidina, dan saksi Gurdip Singh mencabut BAP dikarenakan adanya tekanan fisik dan mental pada tahap penyidikan," ujarnya.
Supriyadi menambahkan, pihaknya mendorong agar pemerintah segera melakukan review menyeluruh terhadap kasus-kasus yang dicurigai melanggar fair trial tersebut.
Pemerintah pun didorong agar membentuk tim independen untuk mendalami kasus-kasus unfair trial di Indonesia.
Supriyadi berharap, pemerintah dapat membentuk badan yang independen dan imparsial untuk meninjau semua perkara hukum yang berujung pada hukuman mati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.