JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam persidangan bagi terdakwa anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti, terungkap fakta bahwa terdapat pertemuan informal untuk menentukan jatah suap yang diterima setiap anggota komisi.
Suap tersebut merupakan fee atas usulan program aspirasi masing-masing anggota Komisi V DPR.
Dalam persidangan, terungkap bahwa pimpinan Komisi V DPR menggunakan istilah "rapat setengah kamar" untuk menamai pertemuan informal tersebut.
Rapat tertutup itu hanya dihadiri Pimpinan Komisi V DPR, para ketua kelompok Fraksi (Kapoksi), serta pejabat eselon I Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
(Baca: Damayanti Tak Terima Disebut Penggerak Suap untuk Anggota Komisi V DPR)
"Pertemuan informal itu kan memberikan keterangan, menceritakan jatah aspirasi. Menurut keterangan Pak Hasanuddin (Kepala Biro Perencanaan PUPR), ini membahas fee, soal jatahnya para preman," ujar pengacara Damayanti, Wirawan Adnan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/7/2016).
Menurut Adnan, berdasarkan keterangan Damayanti, penggerak adanya program aspirasi dan bagi-bagi uang merupakan inisiatif pimpinan Komisi V DPR dan pejabat di Kementerian PUPR.
Adnan mengatakan, kliennya tidak pernah terlibat dalam "rapat setengah kamar" tersebut. Namun, Damayanti mengetahui adanya rapat yang bersifat rahasia dan tertutup.
"Jadi kan total program aspirasi Rp2,8 triliun, itu semua anggota Komisi V dapat, termasuk pimpinannya," kata Adnan.
Sementara itu, saat dikonfirmasi mengenai "rapat setengah kamar", Wakil Ketua Komisi V DPR Michael Wattimena mengaku bahwa istilah tersebut bukan berasal darinya.
Ia tidak dapat memastikan apakah benar terjadi rapat informal. "Bahasa itu bukan dari kami, saya tidak tahu, saya tidak ingat bahwa ada rapat itu," kata Michael.
Salah satu saksi yang membenarkan hal tersebut yakni, Kepala Bagian Sekretariat Komisi V Prima Maria.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan Jaksa, Prima mengakui bahwa pernah dilakukan dua kali rapat tertutup antara pimpinan Komisi V dan Kapoksi di ruang Sekretariat Komisi V. Rapat juga dihadiri Sekjen dan Kepala Biro Perencanaan Kementerian PUPR.
Kepada penyidik KPK, Prima mengaku hanya diminta mengirimkan undangan, namun tidak dilibatkan dalam rapat tersebut, karena sifatnya tidak resmi.
Selain itu, menurut Prima, rapat tersebut tidak disertai notulen, atau pun rekaman. Sebelumnya, Sekjen PUPR Taufik Widjojono mengakui adanya pertemuan informal antara dia dan pimpinan Komisi V DPR.
(Baca: Damayanti Sebut Politisi PKB Fathan Berbohong di Pengadilan)
Taufik juga mengakui dalam pertemuan tersebut dibahas terkait program aspirasi anggota DPR. Selain pimpinan Komisi V DPR, Taufik mengatakan, pertemuan tersebut juga dihadiri oleh masing-masing ketua kelompok Fraksi.
Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Damayanti dan dua stafnya sebagai tersangka serta pengusaha Abdul Khoir.
KPK juga menetapkan dua anggota Komisi V DPR, Budi Supriyanto dan Andi Taufan Tiro, sebagai tersangka. Status tersangka juga disematkan pada
Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary.
Diduga, Abdul Khoir selaku pimpinan perusahaan kontraktor memberikan sejumlah uang kepada Amran dan sejumlah anggota Komisi V DPR.
Pemberian tersebut bertujuan agar proyek pembangunan jalan yang diusulkan anggota dewan di Maluku dan Maluku Utara dapat dikerjakan oleh perusahaan Abdul Khoir.