Ketika Nabi bertanya tentang alasan berpuasa, orang-orang Yahudi menjawab bahwa "Ashura" adalah hari di mana Tuhan menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa dan anak- anak Israel. Nabi pun berkata: "Kami memiliki hak yang lebih besar kepada Musa daripada yang kamu miliki."
Riwayat ini terekam dalam khazanah intelektual Islam, mulai dari kitab-kitab Hadis yang kanonikal, seperti Sahih Bukhari dan Muslim, sampai kitab-kitab sejarah yang otoritatif, seperti Tarikh al-Tabari.
Selain puasa yang menjadi bukti dari sejarah Islam yang hadir dalam iklim yang monoteistik, 'id juga merupakan nomenklatur keagamaan lain yang tak dapat dipisahkan dengan tradisi agama monoteistik Kristen.
Apalagi, Islam mengklaim dirinya sebagai kontinuitas dari agama-agama monoteistik sebelumnya. Karena itu, tak heran Nabi Muhammad dan pengikutnya, umat Islam, juga merayakan hari raya keagamaan.
Konteks festival keislaman
Dalam konteks festival keislaman, umat Islam merayakan setidaknya dua hari raya kanonikal: Idul Adha pada 10 Zulhijah dan Idul Fitri pada 1 Syawal.
Makna 'id dalam dua festival keislaman ini tidak merujuk pada makna "kembali", seperti Idul Fitri dimaknai sebagai "kembali kepada kesuciaan" dan Idul Adha sebagai "kembali kepada kurban."
Tentu saja, pemahaman ini salah, karena makna 'id dalam konteks festival keislaman ini sama- sama merujuk pada hari raya, sebagaimana makna 'id dalam tradisi hari raya agama Kristen.
Karena itu, Idul Fitri lebih tepat dimaknai sebagai "hari raya buka puasa" (festival of fast-breaking) dan Idul Adha ('idal-adha) sebagai "hari raya kurban."
Dalam kitab hadis Sahih al-Bukhari, Nabi Muhammad melarang puasa pada dua hari raya itu dan justru merekomendasikan kepada umat Islam untuk merayakan hari raya Idul Adha dengan penyembelihan hewan kurban (festival of sacrifice) dan hari raya Idul Fitri dengan berbuka puasa dan makan (festival of fast-breaking).
Disebut sebagai hari raya buka puasa, karena hari raya Idul Fitri adalah penanda dari akhir puasa selama Ramadhan, sehingga kita diharamkan untuk puasa pada 1 Syawal.
Dan, benar pula ketika Ali Mustafa Ya'qub (almarhum) menyebut Idul Fitri dengan tepat sebagai "hari raya makan," karena makna al-fitr itu sendiri adalah makanan.
Bahkan, sebelum shalat Idul Fitri ditunaikan, Nabi merekomendasikan umatnya untuk makan terlebih dahulu. Sesudah shalat Idul Fitri pun, umat Islam saling berkunjung untuk memaafkan satu sama lain, sambil menikmati momentum Idul Fitri sebagai "festival makanan" di setiap rumah.
SUKIDI
Kandidat PhD Studi Islam di Universitas Harvard, Cambridge