Pertanyaannya adalah penegakan hukum macam apa yang harus dikedepankan? Dipidana karena kepemilikan narkoba atau penyalahgunaan narkoba?
Saat ini para penegak hukum dimulai dari penyidik sampai penuntut cenderung ke pilihan pertama yakni pemidanaan karena kepemilikan. Konsekuensinya ia harus dihukum berat layaknya sebagai pemilik atau pengedar yang oleh Presiden Jokowi disebut gembong dan bandar.
Padahal mereka adalah pengguna. Dengan demikian, ada yang kurang pas dalam penegakan hukum ini. Perintah Presiden Jokowi terang dan jelas (hanya) pada gembong dan bandar saja.
Artinya, penyidik harus cerdik dan tegas memastikan temuan pada status gembong atau bandar yang disebut sebagai pemilik. Jika belum ditemukan siapa gembong dan bandarnya, mereka adalah pengguna.
MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) membeberkan penelitiannya bahwa 70% pengguna ini didakwa sebagai pemilik padahal faktanya menggunakan kurang dari 5 gram sebagai batasan yang masih dalam kategori pengguna.
Lalu, pengguna seolah diampuni? Tentu tidak. Pendekatannya adalah tanggungjawab negara pada upaya rehabilitasi. Jika cara pendekatannya dengan pemidanaan di hulu ini terus dilakukan, akibatnya negara mengalami kesulitan yang besar pada bagian hilir yakni penampungannya di lembaga pemasyarakatan.
Namun demikian, rehabilitasi ini pun punya persoalan yang sama juga, karena harus dilakukan renovasi dan bahkan pembangunan pusat-pusat rehabilitasi yang baru.
Pemerintah tak boleh sendirian, masyarakat harus ikut terlibat membantu negara dan pemerintah melakukan dan membangun komunitas komunitas rehabilitasi ini dengan arahan dan panduan BNN. Pemerintah Daerah juga tak boleh diam dan hanya menunggu pemerintah pusat.
Kembali ke alam dan budaya
Indonesia mempunyai banyak sekali pemandamgan alam yang indah. Memanfaatkan alam sebagai bagian dari proses rehabilitasi pengguna narkoba mungkin pilihan yang bijak untuk dicoba.
Di seputar wilayah Danau Toba yang luas, tentu bisa didorong partisipasi masyarakat melakukan rehabilitasi dengan pendekatan alam yang indah dan tenang. Pendekatan budaya yang efektif. Budaya menjadi the guardian bagi rakyatnya. Apalagi narkoba sudah menembus sampai ke desa desa.
Mengembangkan Danau Toba sebagai taman bumi dunia yang dikampanyekan UNESCO yang disebut Geopark Global Network untuk Geopark Kaldera Toba adalah tantangan yang menarik bagi rencana pemerintah membentuk Badan Otorita Pengembangan Kawasan Danau Toba.
Ini juga sebagai jawaban atas kebijakan penerintah menetapkan Danau Toba sebagai 10 besar destinasi pariwisata nasional.
Konsep geopark ini didasarkan pada tiga aspek utama yakni geologi, biologi atau tumbuh-tumbuhan (herbal) dan budaya. Bagaimana memuliakan bumi untuk kesejahteraan manusia di dalamnya dengan tiga aspek utama itu.
Perpaduan ketiga aspek geopark ini dikembangkan oleh Komunitas Rumahela, di kecamatan Pangururan, Samosir. Komunitas ini secara perlahan dan kecil-kecilan mencoba melakukan rehabilitasi dengan pendekatan herbal batak dan budayanya.