Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

pengagum jurnalisme | penikmat sastra | pecandu tawa riang keluarga

UU Penyandang Disabilitas, Tantangan untuk Jurnalisme dan Pendidikan

Kompas.com - 29/06/2016, 19:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Sebelum memulai kolom ini, saya telah menguraikan tentang pedoman bagi jurnalis dalam meliput topik yang berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Di akhir kolom tersebut, saya memberikan perhatian lebih kepada Dewan Pers yang perlu memulai sebuah upaya untuk membuat pedoman yang aplikatif bagi jurnalis di Indonesia.

Saat itu saya kurang lebih menulis, Dewan Pers tidak perlu memulai dari nol untuk menyusun pedoman tersebut.

Lembaga ini bisa saja menjadikan sejumlah dokumen sebagai pijakan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Baca: Panduan Meliput Disabilitas dan Ikhtiar Menuju Jurnalisme Antidiskriminasi

Pemerintah, bersama DPR, meresmikan UU Penyandang Disabilitas pada 15 April 2016. Secara umum, aturan ini memuat dua hal besar, yaitu hak penyandang disabilitas dan kewajiban berbagai pihak untuk memenuhi hak tersebut.

Sekarang, menurut undang-undang tersebut, penyandang disabilitas berhak untuk menduduki jabatan publik. Mereka berhak menjadi pejabat di tingkat lokal maupun nasional.

Hak politik ini tentu saja penting. Namun, mungkin hanya sebagian penyandang disabilitas saja yang memperjuangkannya.

Lain hal dengan hak atas pendidikan dan pekerjaan. Pasti sebagian besar penyandang disabilitas akan berkepentingan.

Di situlah wartawan berperan untuk menyuarakan yang tak bersuara. Hal itu juga yang menjadi alasan saya untuk mengulasnya di dalam kolom ini.

Pendidikan untuk semua

Pasal 10 UU Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa semua penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.

Kata inklusif di sini berarti para penyandang disabilitas berhak mengenyam pendidikan di pendidikan umum, bersama mereka yang bukan penyandang disabilitas.

Pasal yang sama juga menegaskan bahwa para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang lain untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan.

Untuk mendukung hal tersebut, setiap institusi pendidikan wajib membentuk Unit Layanan Disabilitas. Khusus untuk pendidikan tinggi, Unit Layanan Disabilitas diatur di dalam Pasal 42 Ayat (3) dan (4).

Unit ini berfungsi untuk meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di pendidikan tinggi dalam menangani peserta didik penyandang disabilitas. Selain itu, petugas di unit ini bisa menyelenggarakan konseling bagi peserta didik penyandang disabilitas.

Sebaiknya, institusi pendidikan tidak menganggap remeh kewajiban tersebut.

Mengapa? Alasannya jelas, setiap institusi yang tidak membuat Unit Layanan Disabilitas bisa dikenai sanksi berupa penghentian kegiatan pendidikan, pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan, hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.

Dunia kerja tanpa diskriminasi

Dalam hal pekerjaan, termasuk pekerjaan di institusi pendidikan tinggi, para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama.

Oleh karena itu, berdasarkan pasal 50 UU Penyandang Disabilitas, setiap pemberi kerja wajib menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas.

Selain itu, pemberi kerja wajib membuka mekanisme pengaduan atas tidak terpenuhinya hak penyandang disabilitas.

Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban tersebut juga bisa berujung penghentian kegiatan operasional, pembekuan izin usaha, dan pencabutan izin usaha.

Ada satu hal yang menarik di dalam UU Penyandang Disabilitas, terutama yang berkaitan dengan pekerjaan.

Undang-undang ini memberikan syarat minimal keberadaan penyandang disabilitas di tempat kerja. Hal itu diatur di dalam Pasal 53.

Aturan tersebut menegaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit dua persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Sementara itu, perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Mulai sekarang, tidak ada tempat bagi kebijakan diskriminatif. Manajemen perusahaan tidak memiliki alasan untuk menolak penyandang disabilitas di dalam dunia kerja.

Sebaliknya, para pemberi kerja justru harus merangkul dan menciptakan kondisi sehingga penyandang disabilitas bisa bekerja sebagai karyawan seutuhnya.

Peran jurnalisme

Kovach dan Rosenstiel telah menguraikan sejumlah elemen jurnalisme. Salah satu elemen penting di dalam jurnalisme adalah loyalitas terhadap warga.

Dalam hal ini, para penyandang disabilitas adalah warga. Mereka bukan warga biasa, mereka adalah warga yang hidup dalam keterbatasan.

Yang lebih menyayat hati adalah kondisi terbatas yang membelenggu itu kadang tidak pernah mereka inginkan.  Artinya, beberapa dari mereka hidup dalam keterbatasan sejak lahir, tanpa mereka bayangkan sebelumnya.

Kondisi ini menjadi lebih rumit ketika tabiat diskriminatif masih menjalar lebat di lingkungan kita. Hal ini selaras dengan pernyataan International Labour Organization (ILO) bahwa para penyandang disabilitas sangat berpotensi mengalami diskriminasi, terutama di dunia pendidikan dan pekerjaan.

Cerita tentang hak penyandang disabilitas atas pendidikan dan pekerjaan adalah bahan berita. Mencoba melaporkan, menguak praktik diskriminasi, dan berusaha memperbaikinya adalah tindakan yang mulia bagi seorang wartawan.

Wartawan adalah peniup peluit jika terjadi diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.

Seperti yang disarankan oleh ILO dalam “Reporting on Disability: Guidelines For Media”, wartawan bisa melaporkan kondisi di lapangan dan mengaitkannya dengan produk hukum yang berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Indonesia saat ini sudah memiliki UU Penyandang Disabilitas. Ini bisa menjadi bekal bagi wartawan untuk mempertanyakan beberapa hal, misalnya apakah hukum dan kebijakan ini “ramah” terhadap penyandang disabilitas?

Kemudian, wartawan bisa melacak penegakan hukum tersebut? Lalu, pers juga perlu untuk memastikan apakah semua pihak sudah mematuhi atau siap melaksanakan aturan yang ada di dalam undang-undang tersebut?

Ada kalanya, jurnalisme seperti “tak terjangkau” oleh para penyandang disabilitas. Mungkin panggung politik dan drama korupsi yang gaduh telah memekakkan telinga mereka yang berada di ruang redaksi.

Kini, saatnya jurnalisme untuk menepi sejenak, istirahat untuk tidak menyuarakan yang sudah bersuara lantang. Kini saatnya jurnalisme menyuarakan yang tak bersuara. Yang bernyanyi lirih dalam derita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apapun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apapun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com