Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agama dan Korupsi

Kompas.com - 20/06/2016, 17:06 WIB

Selanjutnya, para ahli mengatakan bahwa dalam keadaan sebenarnya, internalisasi nilai mencakup proses transformasi mental yang cukup panjang.

Proses tersebut dimulai dari memahami nilai-nilai yang diajarkan, merasakan nilai-nilai yang dipahami, menghormati apa yang dirasakan, meyakini dan bersedia terikat (punya komitmen) dengan nilai-nilai yang dihormati dan terdorong untuk melakukan nilai-nilai yang diyakini tersebut.

Jadi, pengertian dan pemahaman kita terhadap suatu atau sejumlah nilai tidak serta-merta dapat mendorong perubahan perilaku. Jika kita tak cukup merasakan, tak cukup menghormati, kurang meyakini dan kurang terikat dengannya, dan belum terdorong melakukannya, nilai-nilai tersebut tak akan memiliki dampak apa pun pada perilaku kita.

Kita harus menentukan nilai-nilai apa yang akan kita tanamkan kepada anak-anak kita dan anak didik kita di sekolah?

Dalam konteks kondisi kebangsaan mutakhir, kejujuran adalah paling mendesak, lalu anti tindak kekerasan, keadilan, tanggung jawab, toleransi,  gotong royong, dan kepedulian sosial.

Kondisi tak mendukung

Sejauh pengamatan saya, agama kurang bisa berperan dalam perjuangan melawan korupsi dan melawan fenomena maraknya tindak kekerasan karena pendidikan agama lebih ditekankan pada aspek kognitif (pengajaran), bukan pada aspek afektif yang berdasar pada pembiasaan dan keteladanan.

Perlu ada langkah nyata untuk mendorong penghayatan, internalisasi nilai dan transformasinya menjadi tindakan seperti diuraikan di atas.

Proses di atas tentu menghadapi sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Seseorang yang dibesarkan dalam keluarga pengusaha yang sering menyuap pejabat pengambil keputusan akan terbiasa dengan praktik korup itu, walaupun dia diberi pelajaran bahwa praktik itu dilarang agama.

Pemuda yang dibesarkan dalam keluarga politisi yang terbiasa memilih pengurus dengan membeli suara dan membeli suara di KPU amat mungkin akan mengikuti kebiasaan itu.

Pejabat di lembaga negara sudah terbiasa dengan kondisi bahwa untuk menduduki posisi tertentu perlu melakukan praktik setoran atau upeti kepada pejabat yang berwenang.

Kalau dia mau promosi atau mutasi ke posisi strategis dan daerah yang baik, dia harus membayar sejumlah dana. Kondisi seperti itu membuat kebanyakan orang menjadi terbiasa dengan praktik buruk itu. Tidak mudah untuk melawannya.

Di sejumlah sekolah yang kurang bermutu (guru-gurunya kurang baik), sering kali kita melihat kenyataan bahwa para guru membantu murid mereka dengan berbagai cara yang tidak mendidik, termasuk membeli soal UN. Maka, murid-murid itu sejak kecil diajari untuk tidak jujur.

Mereka akan terbiasa dengan kebiasaan bahwa perilaku jujur akan menyusahkan. Maka, lengkaplah sudah contoh yang tersaji di depan mata murid bahwa kejujuran itu hanya akan mempersulit diri kita.

Di sebuah media diungkap bahwa seorang pejabat tinggi lembaga penegak hukum mengajak keluarganya untuk menyembunyikan uang dollar yang dipunyainya ke dalam water closet (WC) di dalam kamar mandinya.

Keluarga ini sudah terbiasa melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum negara dan agama. Kebiasaan ini akan membentuk anak-anak mereka menjadi orang yang amat mungkin meneladani perilaku orangtua.

Dalam kenyataan hidup dalam masyarakat kita saat ini, semakin banyak koruptor ditangkap, semakin banyak pula yang ingin menjalankan perilaku korup dan melakukan tipikor. Seakan-akan mereka tak sadar bahwa mereka tengah diintai petugas KPK dan lalu disadap.

Mengapa mereka masih tetap nekat melakukan perbuatan melawan hukum itu?

Pertama, mereka sudah merasa tidak bersalah melakukan tipikor itu karena diri mereka sudah dikuasai keserakahan.

Kedua, mereka sudah tidak merasa malu karena banyak sekali pejabat negara yang melakukan tindakan busuk itu.

Ketiga, mereka sudah tidak merasa takut lagi terhadap hukuman Tuhan dan hukuman pengadilan.

Mereka berpikir, toh, nanti setelah bebas dari hukuman penjara, mereka masih punya uang yang amat banyak. Mungkin yang bisa membuat mereka takut adalah ancaman dimiskinkan atau dihukum mati.

Keempat, masyarakat sama sekali tak memberi sanksi sosial. Para pejabat yang sudah jelas melakukan tipikor masih dihormati masyarakat.

Salahuddin Wahid

Pengasuh Pesantren Tebuireng

*Tulisan ini tayang pada Harian Kompas pada Senin, 20 Juni 2016 dalam kolom opini*

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com