Salah satunya adalah istilah illegal migrant. Dalam sejumlah pemberitaan di Indonesia, istilah itu sering muncul dalam istilah “tenaga kerja ilegal”.
ILO mendorong agar pers tidak menggunakan istilah “ilegal”. Menurut organisasi tersebut, migrasi bukan tindakan ilegal karena setiap orang memiliki hak untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Selain itu, penggunaan istilah “ilegal” berpotensi untuk memunculkan konotasi kriminalitas. Padahal, menurut dokumen ILO, yang sebenarnya terjadi lebih mengarah kepada permasalahan administratif.
Sebagai gantinya, ILO dan organisasi yang berafiliasi menawarkan istilah undocumented migrant atau pekerja tanpa dokumen resmi.
Kemudian, istilah destination country juga lebih disarankan dari pada host country. Isitlah host country memberi kesan bahwa para pekerja hanya datang untuk menikmati sesuatu, padahal mereka memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi negara tujuan.
Lalu, istilah domestic worker (pekerja domestik) juga dinilai lebih baik dibandingkan dengan istilah domestic helper (pembantu rumah tangga) dan maid. Istilah pekerja domestik dipilh karena memberikan kesan bahwa mereka yang menjalankan pekerjaan itu adalah pekerja yang memiliki hak yang sama dengan pekerja lain.
Panduan meliput
ILO terus mematangkan rancangan panduan liputan migrasi. Dalam pertemuan di Bangkok, kami berkesempatan untuk membedah draf panduan tersebut.
Pada intinya, rancangan Code of Conduct for Reporting on Migration tersebut memuat sepuluh pokok pikiran, yaitu:
1. Media harus memberlakukan kebijakan editorial untuk menggunakan kata-kata yang tepat dan etis dalam memberitakan buruh migran. Untuk itu, Media-Friendly Glossary on Migration adalah rujukan yang relatif ideal.
2. Media harus memberitakan segala yang terkait dengan migrasi secara berimbang dan berhati-hati. Selain itu, media juga harus menghindari generalisasi dan simplifikasi, serta sensasionalisme.
3. Media harus melindungi pekerja migran yang bersedia berbicara. Bila perlu, media bisa menyamarkan identitas, jika narasumber meminta. Hal tersebut juga berlaku bagi keluarga para pekerja migran.
4. Media harus berhati-hati dalam melakukan wawancara dan melaporkan berita yang berkaitan dengan anak-anak. Media harus memastikan bahwa wawancara tersebut dilakukan dalam pendampingan orang tua atau pendamping lainnya.
5. Media harus melihat pekerja rumah tangga dan pekerja seks sebagai pekerjaan yang sah dan perlu diatur dengan Undang-undang.
6. Media harus mengandalkan informasi dari para ahli dan organisasi yang mendalami isu-isu pekerja migran secara khusus untuk mendapatkan informasi yang tepat dan komprehensif.