Seminar tentang migrasi manusia diselenggarakan di Nusa Tenggara Timur pertengahan bulan ini, tepatnya 14 Juni 2016. “Perbudakan Modern” adalah salah satu frasa yang muncul dalam rumusan tema seminar itu. Sepintas, pilihan frasa itu cukup mengerikan.
Tema lengkap dari seminar itu adalah “Pentingnya Informasi Migrasi Aman, Bahaya Trafficking, dan Perbudakan Modern”.
Beberapa orang tampil sebagai pembicara, antara lain Melanie Subono (aktris dan Duta Antiperbudakan Modern), Dinna Wisnu (Komisioner ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR), dan Anis Hidayah (Direktur Eksekutif Migrant CARE).
Menurut saya, ada dua hal yang menarik dari seminar tersebut. Pertama, tempat pelaksanaanya adalah NTT. Sepertinya, memilih NTT bukanlah tanpa alasan. Wilayah ini adalah salah satu sumber tenaga kerja migran.
Kedua, salah satu fokus seminar itu adalah membicarakan informasi aman tentang migrasi manusia. Saya menduga, hal ini paling tidak akan berkaitan dengan pemberitaan mengenai mengenai migrasi, termasuk pekerja migran.
Kamus migrasi
Keterlibatan komisi lintas-negara ASEAN yang menangani hak asasi manusia (AICHR) di dalam seminar di NTT itu membawa ingatan saya menuju kegiatan yang terjadi hampir satu tahun yang lalu.
Saat itu, di penghujung Juli 2015, saya dan beberapa wartawan serta akademisi dari beberapa negara ASEAN berkumpul di Bangkok, Thailand. AICHR adalah pemrakarsa pertemuan itu.
Kami membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan jurnalisme dan HAM di sana. Hal yang dibahas di NTT tahun ini, juga sudah muncul di Bangkok saat itu, yaitu pedoman pemberitaan migrasi.
Menurut saya, membahas hal itu sekarang sangatlah relevan bagi Indonesia. Alasannya jelas. Pertama, negara kita adalah salah satu negara asal pekerja migran di kawasan ASEAN. Kedua, pemberitaan mengenai pekerja migran oleh media di Indonesia masih belum terlalu sensitif terhadap hak-hak pekerja.
Salah satu sesi di dalam forum di Bangkok saat itu dirancang untuk membahas inisiatif International Labour Organization (ILO). Organisasi PBB yang bergerak dalam advokasi para pekerja itu telah membuat semacam panduan bagi wartawan yang meliput dan melaporkan migrasi.
Menurut ILO, citra buruk dan negatif terhadap pekerja migran tidak bisa dilepaskan dari penggunaan bahasa atau istilah oleh pers. Dalam situasi yang lebih serius, pers sangat mungkin disalahkan jika materi pemberitaan mereka dianggap tidak sensitif, atau bahkan diskriminatif, terhadap pekerja migran.
Berdasarkan hal tersebut, ILO dan berbagai organisasi yang berafiliasi seperti United Nations Alliance Of Civilizations (UNAOC) dan Panos Europe Institute (IPE) telah menyusun daftar kata yang berkaitan dengan migrasi dalam sebuah publikasi berjudul “Media-Friendly Glossary on Migration”.
Publikasi 36 halaman ini berisi sejumlah kata yang mereka anggap “aman” dan tidak mengandung nuansa diskriminatif.
Semua istilah di dalam daftar ini tertulis dalam bahasa Inggris. Namun, ada beberapa istilah yang relevan bagi Indonesia, terutama karena berkaitan dengan pekerja migran dan sering muncul di dalam pemberitaan.
Salah satunya adalah istilah illegal migrant. Dalam sejumlah pemberitaan di Indonesia, istilah itu sering muncul dalam istilah “tenaga kerja ilegal”.
ILO mendorong agar pers tidak menggunakan istilah “ilegal”. Menurut organisasi tersebut, migrasi bukan tindakan ilegal karena setiap orang memiliki hak untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Selain itu, penggunaan istilah “ilegal” berpotensi untuk memunculkan konotasi kriminalitas. Padahal, menurut dokumen ILO, yang sebenarnya terjadi lebih mengarah kepada permasalahan administratif.
Sebagai gantinya, ILO dan organisasi yang berafiliasi menawarkan istilah undocumented migrant atau pekerja tanpa dokumen resmi.
Kemudian, istilah destination country juga lebih disarankan dari pada host country. Isitlah host country memberi kesan bahwa para pekerja hanya datang untuk menikmati sesuatu, padahal mereka memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi negara tujuan.
Lalu, istilah domestic worker (pekerja domestik) juga dinilai lebih baik dibandingkan dengan istilah domestic helper (pembantu rumah tangga) dan maid. Istilah pekerja domestik dipilh karena memberikan kesan bahwa mereka yang menjalankan pekerjaan itu adalah pekerja yang memiliki hak yang sama dengan pekerja lain.
Panduan meliput
ILO terus mematangkan rancangan panduan liputan migrasi. Dalam pertemuan di Bangkok, kami berkesempatan untuk membedah draf panduan tersebut.
Pada intinya, rancangan Code of Conduct for Reporting on Migration tersebut memuat sepuluh pokok pikiran, yaitu:
1. Media harus memberlakukan kebijakan editorial untuk menggunakan kata-kata yang tepat dan etis dalam memberitakan buruh migran. Untuk itu, Media-Friendly Glossary on Migration adalah rujukan yang relatif ideal.
2. Media harus memberitakan segala yang terkait dengan migrasi secara berimbang dan berhati-hati. Selain itu, media juga harus menghindari generalisasi dan simplifikasi, serta sensasionalisme.
3. Media harus melindungi pekerja migran yang bersedia berbicara. Bila perlu, media bisa menyamarkan identitas, jika narasumber meminta. Hal tersebut juga berlaku bagi keluarga para pekerja migran.
4. Media harus berhati-hati dalam melakukan wawancara dan melaporkan berita yang berkaitan dengan anak-anak. Media harus memastikan bahwa wawancara tersebut dilakukan dalam pendampingan orang tua atau pendamping lainnya.
5. Media harus melihat pekerja rumah tangga dan pekerja seks sebagai pekerjaan yang sah dan perlu diatur dengan Undang-undang.
6. Media harus mengandalkan informasi dari para ahli dan organisasi yang mendalami isu-isu pekerja migran secara khusus untuk mendapatkan informasi yang tepat dan komprehensif.
7. Media harus mengutamakan data yang akurat, terbaru, dan kredibel.
8. Media harus menggunakan infografis secara bijak sehingga tidak merendahkan martabat pekerja migrant. Infografis mencakup tapi tidak terbatas pada gambar dan foto yang tidak memicu diskriminasi.
9. Media harus meliput secara menyeluruh dan tidak terjebak pada eksploitasi yang diskriminatif dalam berbagai aspek, seperti kemiskinan, penderitaan, dan pelecehan.
10. Media perlu mewadahi aspirasi dan pendapat dari para pekerja migran.
Panduan meliput migrasi tentu adalah hal yang baik. Namun, seperti yang saya nyatakan dalam laporan perjalanan saya dan diunggah di laman Universitas Multimedia Nusantara, panduan tersebut akan mengalami kendala.
Secara teknis, panduan dan lampirannya baru disosialisasikan di kawasan Eropa. Jurnalis di ASEAN belum mendapat kesempatan untuk mendalami, apalagi berkontribusi.
Tantangan lainnya adalah keinginan ILO untuk menerjemahkan kode etik ke dalam bahasa masing-masing negara anggota.
Penerjemahan bukanlah selalu hal yang mudah, apalagi apabila sudah dikaitkan dengan konteks budaya.
Contohnya adalah ketentuan mengenai pekerja seks yang tertera di dalam draf panduan tersebut. Bagaimana mungkin panduan itu bisa meyakinkan otoritas dari negara tertentu untuk mengakui bahwa pekerja seks adalah pekerjaan yang sah secara moral?
Tentu saja tantangan itu tidak menjadi alasan untuk meragukan atau mempertanyakan draf panduan ILO. Selama Indonesia masih mengakui dan menerima manfaat dari pekerja migran, seharusnya pertanyaan utamanya justru adalah: apakah nagara, Dewan Pers, dan wartawan tertantang untuk mengatur diri menjadi lebih baik?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.