7. Media harus mengutamakan data yang akurat, terbaru, dan kredibel.
8. Media harus menggunakan infografis secara bijak sehingga tidak merendahkan martabat pekerja migrant. Infografis mencakup tapi tidak terbatas pada gambar dan foto yang tidak memicu diskriminasi.
9. Media harus meliput secara menyeluruh dan tidak terjebak pada eksploitasi yang diskriminatif dalam berbagai aspek, seperti kemiskinan, penderitaan, dan pelecehan.
10. Media perlu mewadahi aspirasi dan pendapat dari para pekerja migran.
Panduan meliput migrasi tentu adalah hal yang baik. Namun, seperti yang saya nyatakan dalam laporan perjalanan saya dan diunggah di laman Universitas Multimedia Nusantara, panduan tersebut akan mengalami kendala.
Secara teknis, panduan dan lampirannya baru disosialisasikan di kawasan Eropa. Jurnalis di ASEAN belum mendapat kesempatan untuk mendalami, apalagi berkontribusi.
Tantangan lainnya adalah keinginan ILO untuk menerjemahkan kode etik ke dalam bahasa masing-masing negara anggota.
Penerjemahan bukanlah selalu hal yang mudah, apalagi apabila sudah dikaitkan dengan konteks budaya.
Contohnya adalah ketentuan mengenai pekerja seks yang tertera di dalam draf panduan tersebut. Bagaimana mungkin panduan itu bisa meyakinkan otoritas dari negara tertentu untuk mengakui bahwa pekerja seks adalah pekerjaan yang sah secara moral?
Tentu saja tantangan itu tidak menjadi alasan untuk meragukan atau mempertanyakan draf panduan ILO. Selama Indonesia masih mengakui dan menerima manfaat dari pekerja migran, seharusnya pertanyaan utamanya justru adalah: apakah nagara, Dewan Pers, dan wartawan tertantang untuk mengatur diri menjadi lebih baik?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.