JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai sengaja mempersulit bakal calon perseorangan untuk lolos menjadi calon kepala daerah. Hal itu terlihat dari rentetan hasil revisi UU Pilkada.
Penilaian itu disampaikan anggota kelompok relawan "Teman Ahok", I Gusti Putu Artha, dan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam diskusi Satu Meja di Kompas TV, Rabu (8/6/2016) malam.
"Bicara jegal-menjegal calon perseorangan, memang dari dulu DPR enggak ikhlas ada calon perseorangan, dari delapan tahun lalu," kata Putu.
Hal itu disampaikan Putu dan Titi menyikapi aturan baru soal verifikasi faktual dukungan hasil revisi UU Pilkada.
(Baca: Militan dan Siap Strategi Bertarung, Teman Ahok Tak Takut Aturan Diperberat)
KPU diberi waktu verifikasi faktual selama 14 hari terhadap dokumen dukungan calon perseorangan.
Jika pendukung calon tidak dapat ditemui saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk menghadirkan mereka di kantor PPS paling lambat tiga hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut.
Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke kantor PPS, dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
(Baca: Ini Ketentuan Verifikasi KTP Dukungan untuk Calon Independen dalam UU Pilkada)
Dalam aturan sebelum revisi, pendukung calon yang tidak dapat ditemui petugas diberi waktu hadir di kantor PPS selama proses verifikasi faktual berlangsung.
Putu mempertanyakan logika menggugurkan dukungan dalam aturan tersebut. Pasalnya, waktu yang diberikan untuk proses verifikasi faktual selama 14 hari, lalu mengapa dibatasi hanya tiga hari?
"Tetapi, kami berterima kasih, ini akan meningkatkan adrenalin politik, ini akan memperkuat barisan kami. Insya Allah Ahok akan lolos (verifikasi)," kata mantan Komisioner KPU itu.
Syarat dukungan
Selain itu, menurut Putu, sikap DPR yang tidak ingin ada calon perseorangan terlihat dari syarat dukungan yang harus diperoleh para bakal calon.
Putu menyinggung proses revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR bersama pemerintah. Calon perseorangan diakomodasi di seluruh Indonesia setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada 2007 silam.
Saat itu, berkaca pilkada di Aceh yang memperbolehkan calon perseorangan, Lalu Ranggalawe menguji materi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ke MK.
(Baca: Kekhawatiran Ahok akan Verifikasi KTP yang Gunakan Metode Sensus)
Harapannya, calon perseorangan di daerah selain Aceh juga bisa ikut pilkada. MK kemudian mengabulkan dan UU No 32/2004 harus direvisi.
Namun, dalam UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No 32/2004, syarat calon perseorangan dibuat lebih berat dibanding yang berlaku di Aceh.
Dalam UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, calon perseorangan harus memperoleh dukungan sekurang-kurangnya tiga persen dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota.
"Tetapi, konstruksi UU 12/2008, syaratnya calon perseorangan 3 persen sampai 6,5 persen. Logikanya kalau setara sama seperti UU Aceh (3 persen)," kata Putu.
Kemudian, UU Pilkada diubah kembali. Dalam UU No 8/2015, syarat dukungan calon perseorangan diperberat menjadi 6,5 persen sampai 10 persen.
Putu lalu menyinggung niat DPR yang ingin kembali menaikkan syarat dukungan calon perseorangan hingga 15 persen. Namun, niat itu batal.
"Artinya, kawan-kawan DPR tidak ikhlas (ada calon perseorangan)," ucap mantan Komisioner KPU itu.
(Baca: Jimly: Tak Elok Jika KPU dan Bawaslu Ajukan "Judicial Review" UU Pilkada)
Sementara itu, Titi menilai, sikap DPR mempersulit calon perseorangan terbukti dalam pilkada serentak 2015 lalu. Calon perseorangan di banyak daerah sulit lolos verifikasi.
"Di Tanggerang Selatan, dulunya ada dua calon perseorangan yang lolos. Pilkada lalu karena sulitnya dukungan, tidak ada calon perseorangan yang lolos," kata Titi.
Bantah
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan, membantah jika DPR ingin mempersulit calon perseorangan.
Ia mengatakan, hasil revisi UU Pilkada juga memperketat aturan bagi pencalonan lewat parpol. Misalnya, adanya sanksi bagi parpol yang meminta "mahar" kepada bakal calon.
"Sanksinya (penjara) 2-9 tahun, bayar denda 10 kali lipat dari uang mahar. Parpol itu juga tidak bisa mengusung calon pada periode berikutnya. Politik uang, parpol pun bisa kena sanksi. Pasangan calon bisa didiskualifikasi. Kita jaga betul kesetaraan ini," kata dia.