JAKARTA, KOMPAS.com — Komnas Perempuan sejak 2012 telah menekankan status darurat kekerasan seksual mengacu pada meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Mayoritas korban yang disasar adalah perempuan belia.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni menuturkan, sejumlah temuan dan kajian tentang kekerasan seksual menunjukkan bahwa perlu adanya perhatian terhadap proses hukum untuk menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan dewasa.
"Dari kasus yang dilaporkan, 40 persen berhenti di kepolisian dan 10 persen lanjut ke pengadilan," kata Budi dalam acara deklarasi Indonesia Melawan Kekerasan Seksual di Jakarta, Kamis (12/5/2016).
Sementara itu, selebihnya, dengan berbagai pertimbangan, korban tak melanjutkan kasus. Di beberapa daerah, kasus-kasus pemerkosaan diselesaikan dengan pernikahan.
(Baca: Komnas Perempuan: Dampak Kekerasan Seksual Itu Seumur Hidup)
Bahkan, dia melanjutkan, yang terjadi di satu lembaga, mereka dinikahkan di lembaga pemasyarakatan.
Ia menambahkan, keberadaan regulasi mampu menjawab kebutuhan dan kepentingan korban serta pelaksanaan kewajiban negara untuk menghapuskan kejahatan seksual.
"Kejahatan seksual tidak boleh terjadi. Kompleksnya masalah semakin menegaskan perlunya terobosan hukum," ujar dia.
(Baca: Hukuman "Predator" Anak, dari 20 Tahun Penjara, Kebiri, hingga Pemasangan Cip)
Sementara itu, staf ahli Kapolri, Irjen Benny Mokalu, prihatin dengan data Komnas Perempuan bahwa 40 persen kasus kekerasan seksual berhenti di kepolisian.
Menurut dia, di kepolisian ada penghentian perkara. Alasannya bisa karena beberapa hal, seperti tindakan yang tak terbukti sebagai tindak pidana, tidak cukup bukti, ataupun penghentian demi hukum.
(Baca: Menkumham Janjikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan Tahun Ini)
Meski begitu, ia menilai, harus ada revolusi di tubuh kepolisian, terutama bagi oknum-oknum polisi yang belum baik.
"Ini perlu ada revolusi mental oknum polisi. Oknum ya, karena polisi rata-rata baik. Oknum yang tidak baik," kata Benny.