Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari akar ini. Bahkan sampai berimbas pada bagaimana kekerasan tersebut diselesaikan, termasuk pada saat kasus masuk ke dalam proses peradilan pidana.
Budaya patriarki memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki. Inilah mengapa dalam pandangan feminis radikal, kejahatan adalah milik laki-laki dan bukan milik perempuan.
Adapun perkosaan adalah bentuk ekspresi tertinggi dari subordinasi perempuan, karena perkosaan merupakan perilaku agresi yang di dalamnya perempuan sebagai korban diabaikan determinasi dirinya sendiri (Griffin, 1979).
Susan Brownmiller, dalam bukunya Against Our Will: Men Women and Rape tahun 1975, mengatakan; dari masa prasejarah hingga sekarang, saya mempercayai, perkosaan telah memainkan fungsi yang kritikal.
Ini tidak lebih dari proses intimidasi secara sadar, yang melaluinya semua laki-laki membuat semua perempuan dalam keadaan ketakutan.
Menurut Brownmiller, laki-laki terlahir menjadi yang dominan secara seksual dan perbedaan biologis menjadi penyebab langsung kejahatan yang dilakukannya.
Cara pandang seperti ini tidak hanya menjelaskan mengapa perempuan mengalami kekerasan seksual, namun juga mengapa perempuan dibunuh.
Ketimpangan gender membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kejahatan. Pada saat perempuan secara nyata menjadi korban kejahatan, maka kejahatan tersebut semakin mempertegas ketimpangan kekuasaan gender antara laki-laki dan perempuan.
Demikian analisis Brownmiller mengenai relasi antara gender power disparity dan female victimization. Relasi antara kekerasan dan ketimpangan kekuasaan gender berbentuk spiral yang semakin membesar.
Kejahatan kekerasan dengan kata lain menegaskan bahwa perempuan tidak memiliki kuasa yang efektif. Pertanyaannya, bagaimana mengenali budaya patriarki itu? Bagaimana budaya patriarki bersifat kriminogenik?
Disadari atau tidak, di dalam masyarakat terkadang terdapat praktek-praktek yang justru mempertahankan ketimpangan gender.
Agen-agen yang memelihara praktek tersebut tidak mesti seseorang atau kelompok yang nyata-nyata telah memilih masuk ke dalam dunia kriminal, yang setiap hari mencopet, mencuri atau merampok dari korban perempuan. Namun termasuk agen-agen sosialisasi di dalam masyarakat, sekolah, bahkan keluarga.
Bagi agen aktif yang kriminal karir, memilih perempuan sebagai korban kejahatan jalanan adalah sebuah proses konstitutif yang secara tidak disadari telah memelihara perempuan dalam lingkar viktimisasi.
Perempuan dikonstruksi sebagai salah satu korban ideal. Inilah mengapa, dalam pandangan realis, perempuan adalah subjek yang paling rentang menjadi korban kejahatan, selain anak-anak dan orang lanjut usia.
Dampak akhir dari hal ini adalah semakin dalamnya perempuan berada dalam the state of fear, yang mungkin menurunkan kapabilitas ekonomis perempuan.