Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Hal yang Jadi Sorotan dalam Revisi UU Pilkada

Kompas.com - 22/04/2016, 08:34 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan revisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tengah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pemerintah dan DPR mengebut revisi UU ini karena akan dipakai sebagai payung hukum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak pada 2017 mendatang.

Dalam rapat perdana revisi UU Pilkada Jumat (15/4/2016) pekan lalu dengan agenda penyampaian daftar inventarisasi masalah oleh setiap fraksi, setidaknya ada tiga isu utama yang disoroti.

Pertama, adalah soal syarat dukungan bagi calon perseorangan atau pun yang diusung partai politik.

Kedua, adalah mengenai kewajiban anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mundur saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Ketiga, adalah sanksi bagi parpol yang tidak mengusung calon.

1. Wacana untuk mengubah syarat dukungan calon perseorangan

Wacana ini sudah muncul beberapa pekan sebelum pembahasan RUU Pilkada dimulai. Sebagian fraksi menganggap syarat bagi calon perseorangan terlalu ringan dan tidak seimbang dengan syarat yang diajukan oleh partai politik.

Dalam draf undang-undang yang diusulkan pemerintah, syarat dukungan bagi calon perseorangan dan parpol tidak berubah dari sebelumnya.

Calon perseorangan harus mengumpulkan KTP antara 6,5 hingga 10 persen dari jumlah DPT dalam pilkada sebelumnya. Rentang angka 6,5 sampai 10 persen tergantung dari jumlah penduduk yang ada di daerah itu.

(Baca: Draf RUU Pilkada Diterima, DPR Siap Perberat Syarat Calon Independen)

Sementara calon yang diusung parpol harus memperoleh 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu DPRD.

Setidaknya dalam rapat perdana pekan lalu, ada lima fraksi yang menganggap syarat dukungan ini tak adil dan harus direvisi. Revisi bisa mengarah pada memberatkan syarat dukungan calon independen atau meringankan syarat dukungan calon yang diusung parpol.

Lima fraksi tersebut yakni PDI-P, Golkar, Gerindra, PAN dan PPP. Baru Fraksi Nasdem dan Hanura yang secara tegas menolak syarat dukungan diubah.

Sementara tiga fraksi lainnya yakni Demokrat, PKB, dan PKS tidak menyoroti soal syarat dukungan calon independen dalam DIM yang disampaikan.

2. Kewajiban mengundurkan diri 

Atutan yang mewajibkan anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mundur apabila sudah ditetapkan sebagai calon kepala daerah muncul sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015.

Setidaknya ada dua fraksi yang secara tegas menyatakan penolakan atas putusan MK tersebut. Perwakilan Fraksi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian menilai aturan tersebut memberatkan karena selama ini calon kepala daerah banyak berlatarbelakang anggota DPR, DPD atau pun DPRD.

Perwakilan dari Gerindra Sareh Wiryono menilai putusan MK mengabaikan fungsi parpol dalam melakukan pendidikan politik. Sebab anggota legislatif yang merupakan kader terbaik partai secara substansi juga adalah calon pemimpin daerah.

(Baca: Sejumlah Fraksi Minta Anggota DPR yang Ikut Pilkada Tak Perlu Mundur)

Fraksi Golkar dan Gerindra sama-sama sepakat agar anggota DPR, DPD dan DPRD yang sudah ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum cukup cuti di luar tanggungan negara.

Adapun perwakilan Komite II DPD Ahmad Muqowam menilai, tak perlu ada aturan mengenai kewajiban anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mengundurkan diri atau pun cuti.

Dia menilai akan lebih baik jika anggota DPR, DPD dan DPRD mengatur sendiri pencalonannya sebagai kepala daerah.

3. Sanksi untuk parpol

Sanksi untuk parpol ini baru muncul dalam draf revisi UU Pilkada yang diajukan pemerintah. Tujuannya adalah untuk menghindari munculnya calon tunggal yang sempat terjadi di sejumlah daerah pada pilkada serentak 2015 lalu.

Pemerintah menambah satu ayat dalam Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur bahwa dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik memenuhi ketentuan namun tidak mengusulkan pasangan calon, maka parpol atau gabungan parpol tersebut tidak boleh mengusulkan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah berikutnya.

(Baca: JK: Perlu Revisi UU untuk Beri Sanksi Parpol Tak Ajukan Calon di Pilkada)

Lima fraksi yakni Demokrat, PAN, PPP dan Nasdem menolak aturan itu dan meminta pasal tersebut dihapuskan. Sanksi itu dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan dalam berdemokrasi bagi parpol untuk menentukan atau tidak menentukan pilihannya.

Fraksi yang menolak juga menganggap sanksi itu tidak lagi relevan setelah munculnya putusan MK yang membolehkan calon tunggal.

Tanggapan Mendagri

Kompas.com/Kurnia Sari Aziza Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri) bersama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan), di Balai Kota, Senin (21/3/2016).
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pemerintah hingga saat ini tidak ingin memperberat syarat bagi calon independen yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah serentak.

Sebab, syarat bagi calon independen sebelumnya sudah diringankan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Saya khawatir kalau ada yang menggugat, judicial review ke MK, itu akan dikembalikan lagi," kata Tjahjo usai rapat pekan lalu.

Tjahjo menghargai sikap fraksi yang menginginkan syarat calon independen diperberat.

Menurut dia, perbedaan pandangan ini akan didiskusikan lagi dalam rapat-rapat berikutnya.

(Baca: Istana Tak Mau Revisi UU Pilkada untuk Halangi Calon Independen)

Sementara terkait kewajiban Mundur bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD, Mendagri menganggap hal tersebut juga masih bisa didiskusikan.

Jika keinginan sejumlah fraksi itu disetujui, maka aturan yang sama juga harus berlaku bagi penyelenggara negara seperti anggota TNI, Polri, PNS, pegawai BUMN, hingga calon petahana.

"Kalau memang harus cuti ya cuti semua. Kalau semua berhenti ya semua diberhentikan," ucap Politisi PDI-P ini.

Adapun terkait sanksi bagi parpol yang tak mengusung calon, juga masih bisa berubah tergantung pembahasan.

(Baca: Dikritik, Draf RUU Pilkada Perbolehkan Pencalonan TNI/Polri Tanpa Perlu Mengundurkan Diri)

Di satu sisi, Mendagri mengakui bahwa parpol boleh saja mempunyai strategi untuk tidak mengusung calon di daerah tertentu. Tetapi, harus diingat pula bahwa parpol itu adalah mempersiapkan kader baik di tingkat eksekutif dan legislatif, pusat maupun daerah.

"Harusnya partai harus siap.Kalau soal sanksi ya mari kita bahas karena ini menyangkut strategi dan lain sebagainya," ucap dia.

Selain tiga hal diatas, menurut Mendagri, masih ada sejumlah poin krusial lain. Misalnya, mengenai calon yang kalah harus memiliki ambang batas perolehan suara dua persen saat ingin menggugat ke MK.

Politik uang juga menjadi sorotan, apakah calon perlu digugurkan apabila terbukti melakukan praktik politik uang. "Ada 12 item yg akan kami perdalam lagi," ujar Tjahjo.

Kompas TV 32 Pasal tentang UU Pilkada Akan Direvisi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com