JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Imparsial Al Araf memandang bahwa kebebasan sipil tidak bisa dibatasi atau dikurangi untuk alasan apa pun, termasuk soal keamanan negara.
Oleh karena itu, menurut dia, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme harus memiliki kesimbangan antara kepentingan keamanan nasional dan jaminan atas kebebasan sipil.
"Negara harus berpikir bahwa menjaga keamanan negara harus berimbang dengan jaminan atas kebebasan sipil. Tidak bisa saling menegasikan," ujar Al Araf saat ditemui di kantor Imparsial, Tebet Utara, Jakarta Selatan, Kamis (21/4/2016).
"Penting bagi Pemerintah merevisi UU Antiterorisme dengan perimbangan tersebut," kata dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, jaminan atas kebebasan sipil merupakan salah satu prinsip dasar dalam penghormatan hak asasi manusia yang harus dipatuhi oleh negara.
Prinsip tersebut diakui oleh konstitusi dan diatur dalam tataran hukum internasional.
"Itu prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia yang harus dipatuhi oleh negara. Secara internasional itu diakui," ucapnya.
Al Araf pun menyayangkan jika pemerintah berniat untuk mengorbankan kebebasan sipil melalui penambahan masa penangkapan dan penahanan dalam revisi UU Antiterorisme dengan alasan kepentingan keamanan nasional.
(Baca: Kepala BNPT Tito Karnavian: Jika "Civil Liberty" Dikorbankan Sedikit, "Why Not?")
Al Araf berpendapat bahwa saat ini belum ada urgensi untuk memperpanjang masa penangkapan dan penahanan terduga teroris sebagaimana diusulkan.
Hal yang paling dibutuhkan dalam penanganan terorisme, menurut dia, adalah dibentuknya sistem pengawasan dan evaluasi di dalam UU Antiterorisme. Sebab, Densus 88 memiliki kewenangan khusus terkait upaya pemberantasan jaringan teroris.
Pengawasan dan evaluasi, kata Al Araf, harus dilakukan secara berkesinambungan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kewenangan oleh Densus 88.
Ia mengatakan, seharusnya kasus kematian terduga teroris Siyono saat penangkapan oleh Densus beberapa waktu lalu bisa menjadi alasan kuat dibentuknya sebuah sistem pengawasan.
(Baca: Kata Busyro, Kematian Siyono Bisa Jadi Hikmah Pembahasan Revisi UU Terorisme)
"Selama ini kan sistem pengawasan tidak. Di situ letak urgensinya. Bukan pada masa penangkapan dan penahanan. Kalau Densus diberi kewenangan khusus, harus ada pengawasan yang efektif dan evaluasi oleh DPR tiap tahun," kata dia.