Keputusan itu membuat Kartini terkejut bahkan sampai pingsan. Selanjutnya, duka mendalam selalu membayangi kehidupan Kartini, hingga akhir hayat.
Saat izin diperoleh dan beasiswa dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk belajar di Batavia dikabulkan, Kartini harus memilih jalan lain yaitu menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat.
Bupati Rembang ini sebelumnya telah menduda sebanyak dua kali karena dua kali ditinggal istrinya meninggal dunia. Meskipun suaminya mencintainya sepenuh hati, namun ternyata Bupati Rembang memiliki tiga selir.
Pergolakan batin Kartin terus bergemuruh, hingga melewati saat Kartini sedang hamil. Pada akhirnya, Kartini meninggal dunia pada 17 september 1904 setelah lima hari melahirkan. Ia baru berusia 25 tahun saat meninggal dan baru 10 bulan menikmati mahligai perkawinannya dengan Bupati Rembang.
Penulis Sitisoemandari Soeroto menganalisis, untuk menebus penyesalan Mr Abendanon terhadap Kartini, Mr Abendanon akhirnya menerbitkan surat-surat Kartini menjadi buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Melalui Alam Gelap Menuju Dunia Terang). Buku itu terbit April 1911 yang merupakan sumbangan berharga Mr Abendanon untuk Indonesia.
Maka tersiarlah gagasan Kartini ke seantero Belanda hingga Indonesia. Hingga akhirnya terbentuk “Dana Kartini” di Belanda yang digalang oleh sahabat-sahabat Kartini di Belanda.
Pada masa itu, api Kartini berkobar di Belanda dan menjadi momentum untuk mengajak warga Belanda membalas budi. Mereka keliling ke berbagai pelosok di Belanda untuk mengumpulkan dana pembangunan sekolah di Indonesia, seperti yang dicita-citakan Kartini.
Kartini kini
Di tengah perayaan Kartini, di era digital yang (seharusnya) sudah serba mapan, kita tetap masih mendengar tragika kemanusiaan Kartini kencang terdengar di Bumi Pertiwi. Pendidikan yang telah lama dicita-citakan Kartini untuk kaum perempuan masih juga belum bisa dinikmati semua perempuan.
Sebut saja kabar terakhir yang menimpa Dolfina Abuk (30), Tenaga Kerja Wanita asal Desa Kotafoun, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia pulang dari bekerja di negeri jiran Malaysia dalam keadaan tak bernyawa.
Tak hanya itu, organ tubuhnya diduga telah hilang. Sekujur tubuhnya penuh jahitan. Lidah Dolfina tidak ada, matanya kempis ke dalam, pelipisnya bergeser ke atas, dan tubuhnya kempis ke dalam seakan tak berisi.
Selain itu, ada jahitan panjang dari bagian leher menurun hingga bagian atas kemaluan. Ada juga jahitan lingkaran leher bagian depan, bagian belakang kepala, dan lingkaran bagian atas kepala. Semua jahitan ini kelihatan beralas kapas putih dari bagian dalam.
Baca: Kondisi Jenazah Dolfina Penuh Jahitan, Keluarga Tidak Terima
“Kita akan membentuk tim dan saya akan keluarkan surat keputusan bupati dan tim ini tidak hanya tertutup di dalam lingkungan internal pemerintah daerah, karena kita akan melibatkan berbagai pihak yang masuk dalam tim ini,” kata Fernandes.
Baca: Usut Jenazah TKW Penuh Jahitan, Bupati TTU Lapor Polisi dan Selidiki Kematian TKW Dolfina, Polisi Tunggu Hasil Otopsi dari Malaysia.
Beberapa hari lalu, kita juga menyaksikan sembilan "Kartini" dari Pegunungan Kendeng menggelar aksi dengan cara memasung kaki mereka dengan semen. Tuntutan mereka cukup sederhana: agar bisa berdialog dengan Presiden Joko Widodo.
Aksi tersebut merupakan aksi kesekian mereka untuk menyuarakan pentingnya melestarikan bentang alam di Pulau Jawa. Banyak Kartini-Kartini di Indonesia, mulai dari pahlawan devisa Indonesia hingga para petani dan nelayan, masih memperjuangkan kebutuhan dasar mereka: sandang, pangan, dan papan.
Pendidikan untuk perempuan hingga kejuruan seperti yang dicita-citakan RA Kartini belum bisa sepenuhnya dilaksanakan hingga pelosok negeri. Para perempuan negeri ini masih saja terjebak kemiskinan struktural yang dicirikan dengan pendidikan rendah dan miskin. Maka, suara Kartini seabad lebih yang lalu, ternyata masih relevan hingga kini untuk mengingatkan para penguasa untuk lebih memperhatikan pendidikan bagi kaum perempuan.
“Bilamana pemerintah sungguh-sungguh mau membudayakan rakyat, maka baik pendidikan ilmu pengetahuan maupun pendidikan budi pekerti harus dikerjakan bersama-sama. Untuk yang terakhir ini, siapakah yang lebih mampu meningkatkan budi pekerti dibandingkan kaum perempuan, kaum ibu? Di pangkuan ibulah orang mendapat pendidikan yang pertama. Di situ anak untuk pertama kali belajar merasakan, berfikir, dan bicara. Pendidikan yang paling awal itu besar artinya bagi seluruh hidupnya. (Surat Kartini kepada Nyonya Ovink-Soer, dikutip dari buku “Kartini, Sebuah Biografi”, 1977, hal: 206).