Surat edaran tak jalan
Jaksa Agung sebenarnya telah membuat Surat Edaran Nomor B-306/C/Cu/12/2012 yang memerintahkan jajarannya membuat daftar barang sitaan/bukti bernilai ekonomis pada unit pidana umum dan khusus sejak proses penyidikan hingga persidangan.
Pembuatan pun harus diperinci dengan jelas klasifikasinya berdasarkan jenis barang, bukan sekadar jumlah atau nilainya.
Namun, surat edaran tersebut tidak sepenuhnya dijalankan. Contohnya, di unit tindak pidana umum Kejaksaan Agung pada 2015 pun hanya tercatat pendapatan hasil lelang barang bukti Rp 2,79 miliar.
Hasil lelang tersebut tidak diketahui berasal dari barang jenis apa saja. Begitu pula di unit tindak pidana khusus, pada 2015 tercatat Rp 127,9 miliar yang diperoleh dari eksekusi barang rampasan tanpa diketahui detail jumlah dan jenisnya.
Kepala Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan Agung Loeke Larasati, di Kompleks Kejaksaan Agung, Senin (18/4), mengungkapkan, PPA sedang berupaya menata data barang sitaan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Ia berpendapat, pendataan secara terperinci dan dibuka untuk umum dapat meminimalkan potensi penyelewengan.
”Tahun ini kami menargetkan pendataan selesai. Saat ini, tiap kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi telah diminta menyediakan data yang komprehensif. Dengan data ini, dapat dilihat ke mana larinya barang sitaan tersebut,” kata Loeke.
Melobi DPR
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman juga membenarkan, penyelewengan dan pemanfaatan benda sitaan oleh aparat penegak hukum sering ditemukan.
Selain perawatan benda yang tidak memenuhi standar, ada pula aparat yang memakai, bahkan menjual, benda-benda hasil sitaan.
Benny menuturkan, saat Komisi III DPR mengungkit pengelolaan barang sitaan ke penegak hukum, ada yang melobi Komisi III agar tidak mempermasalahkannya.
”Kalau kami tanyakan hal tersebut, nanti ada saja orang-orang yang datang melobi (agar tidak lagi mengungkit hal tersebut), diminta tidak usah bertanya soal itulah, nanti gaduh,” kata Benny.
Penyebab lain yang membuat barang sitaan rawan digelapkan adalah terbatasnya rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan) di bawah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Rupbasan yang ada sekarang hanya 63 unit. Padahal, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 1985 menyatakan rupbasan yang disetujui oleh negara sebanyak 211 unit.