Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Simposium Nasional Tragedi 1965: Sebuah Jalan Menuju Rekonsiliasi

Kompas.com - 20/04/2016, 09:32 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Apresiasi positif diberikan oleh berbagai pihak, dari korban maupun kalangan aktivis HAM, terhadap inisiatif Pemerintah dalam menyelenggarakan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, pada Senin hingga Selasa (18-19/4/2016) lalu.

Dalam sinposium tersebut muncul berbagai fakta yang diungkapkan, baik oleh korban, keluarga korban, para pakar, dan pendamping korban.

Menurut para pakar yang hadir sebagai panelis, Tragedi 1965 bukan merupakan hasil dari konflik horizontal melainkan konflik vertikal di mana negara memiliki tanggung jawab di dalamnya.

Hal tersebut, menurut akademisi Ariel Heryanto terlihat dari tiga indikator, yakni rentang waktu peristiwa pembunuhan massal 1965 yang berlangsung selama berbulan-bulan, jumlah korban yang begitu banyak dan wilayah peristiwa yang meluas.

(Baca: "Simposium Nasional Tragedi 1965 Bukan untuk Mencari Benar dan Salah")

Dari sejumlah testimoni korban terungkap bahwa teror kepada korban dan keluarga korban masih terus berlangsung hingga saat ini. Selama berpuluh-puluh tahun korban dan keluarganya terus hidup dalam ketakutan dan perasaan tidak aman.

Selain itu, perlakuan diskriminatif juga kerap diterima oleh korban, baik secara sosial dan kultural. Akibatnya, hak-hak sebagai warga negara yang seharusnya merea rasakan tidak bisa dinikmati secara utuh.

Melalui simposium itu pula mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah agar hak-hak dasar mereka dipenuhi.

Ilham Aidit, anak dari petinggi PKI Dipa Nusantara Aidit, mengatakan bahwa jika pemerintah berniat menyelesaikan persoalan Tragedi 1965 melalui jalur rekonsiliasi, maka harus menlakukan empat hal.

(Baca: Soal Peristiwa 1965, Luhut Tegaskan Pemerintah Tak Akan Minta Maaf)

Ia menegaskan setidaknya ada pengakuan resmi dari pemerintah atas pembunuhan massal yang terjadi terkait dengan pelurusan sejarah, permintaan maaf, pemenuhan hak-hak korban atas rehabilitasi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa depan.

"Jika meminta maaf itu hal yang sangat susah, paling tidak rehabilitasi sudah pantas diberikan kepada korban. Paling tidak kami bisa katakan bahwa kami bukan orang-orang yang salah, tapi orang-orang yang dipersalahkan. Selama ini kami dianggap orang berdosa dan bersalah sepanjang hidupnya. Itu berat sekali," ujar Ilham.

Kesepakatan rekonsiliasi

Menuju Rekonsiliasi Nasional Sementara itu, dalam refleksinya di akhir simposium, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto, berharap Simposium Nasional tersebut bisa menjadi sebuah langkah awal bagi penyelesaian yang menyeluruh dan berkeadilan.

Ia menyepakati beberapa prinsip-prinsip penyelesaian seperti pemenuhan hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan atas ketidakberulangan yang mengemuka dalam simposium.

Semuanya itu, kata Sidarto, agar terjadi sebuah rekonsiliasi nasional di antara para pelaku sejarah. Pelaksanaan berbagai pandangan itu akan mempertimbangkan kondisi sosial, politik, hukum, dan budaya Indonesia.

Sidarto juga berharap dari hasil simposium akan muncul rekomendasi pemenuhan hak rehabilitasi umum bagi para korban pelanggaran HAM dalam konteks pengembalian hak-hak sipil dan hak-hak kewarganegaraan sepenuhnya, tanpa stigma dan diskriminasi sesuai yang telah direkomendasikan oleh Mahkamah Agung, DPR RI dan Komnas HAM.

(Baca: Imam Aziz: Tidak Pernah Ada Perintah dari Kiai NU Untuk Bunuh Warga PKI)

"Rumusan lengkap yang menjadi rekomendasi bagi pemerintah dari simposium ini akan dirumuskan lebih lanjut oleh tim perumus," ungkapya.

Konsep rekonsiliasi yang sebelumnya pernah diwacanakan oleh pemerintah, dinilai masih menjadi opsi yang paling mungkin dilakukan untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, khususnya Tragedi 1965.

Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Agus Widjojo, mengatakan bahwa rekonsiliasi sebagai opsi bisa mencairkan batas-batas pemikiran masyarakat terhadap peristiwa masa lalu dan meninggalkan dendam.

Lebih lanjut, Agus menjelaskan, konsep rekonsiliasi bisa dimulai dengan upaya pengungkapan kebenaran. Dari upaya itu masyarakat bisa mendapatkan fakta penting seperti penyalahgunaan kewenangan oleh aparat keamanan, pelaku, dan korban.

(Baca: Kisah Sumini, Seorang Guru yang Dicap Komunis)

Menurutnya, proses pengungkapan kebenaran tidak harus dilakukan melalui proses pengadilan, karena ia menilai konsep rekonsiliasi sudah mencakup segala tuntutan yang diinginkan oleh korban, seperti hak kebenaran, hak rehabilitasi dan hak reparasi.

"Dalam konsep rekonsiliasi akan lebih komprehensif daripada melalui pengadilan. Semua komponen yg dituntut ada semua, hak reparasi dan rehabilitasi ada di situ. Tidak harus lewat pengadilan, tetap memberikan keadilan," ungkapnya.

Selain itu, menurut Agus, penyelesaian melalui jalur rekonsiliasi akan membawa dampak positif bagi kerja-kerja pemerintah ke depannya.

Pengungkapan kebenaran melalui rekonsiliasi akan mampu memaksa seluruh lembaga negara menjadi lebih akuntabel. Selain itu Agus memandang perlunya reformasi kelembagaan agar kejadian serupa tidak terulang.

(Baca: Soal Peristiwa 1965, Sintong Tantang Buktikan jika Korban di Jateng 100.000 Orang)

"Perlu ada akuntabilitas kekuasaan agar tidak sewenang. Harus ada reformasi kelembagaan agar tidak terulang. Hal tersebut bisa dicapai melalui rekonsiliasi," kata Agus.

Ia pun menuturkan, keberhasilan proses rekonsiliasi mengharuskan adanya kesepakatan dan kemauan pihak yang bertikai untuk berdamai dengan masa lalu.

Rekonsiliasi tidak bisa dibangun atas pendekatan hitam putih. Ada kebutuhan untuk saling percaya yang ditunjukkan.

"Kalau kita tergelincir ke arah yudisial akan sulit untuk selesai. Dalam rekonsiliasi kita harus memutus masa lalu. Berdamai dengan diri sendiri. Kalau masih berputar dalam penyelesaian pengadilan, tidak akan selesai," ucap Agus.

Kompas TV Simposium Mencari Kebenaran Sejarah 1965
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com