Setelah 13 tahun buron, Samadikun Hartono dikabarkan ditangkap di Tiongkok. Keberadaan mantan Komisaris Utama PT Bank Modern ini sesungguhnya terendus sejak lama oleh penegak hukum. Namun, mengapa harus menunggu hingga lebih dari satu dasawarsa untuk menangkapnya?
Merujuk pada laman Kejaksaan Agung, korps Adhyaksa mendapat informasi terakhir bahwa Samadikun tinggal di Apartemen Beverly Hills Singapura dan memiliki pabrik film di Tiongkok dan Vietnam.
Jaksa Agung HM Prasetyo pun menyatakan, Samadikun kerap wira-wiri Singapura-Tiongkok.
Namun, selama ini ada sejumlah kendala untuk menangkap Samadikun dan buronan lainnya di luar negeri. Mulai dari perbedaan sistem hukum hingga adanya masalah dalam menjalin kerja sama serta menembus jaringan otoritas setempat.
Pada saat yang sama, tim dari Tanah Air juga tidak boleh gegabah. Pasalnya, ada kemungkinan buronan itu justru berpindah tempat, bersembunyi, dan bahkan menyamar serta memalsukan identitasnya.
Hal lain yang kerap terjadi, para buron ini berpindah kewarganegaraan. Hal itu, misalnya, dilakukan terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, yang kabarnya berada di Papua Niugini.
Penegak hukum belum dapat memulangkan Djoko meski mengetahui keberadaannya karena yang bersangkutan disebutkan telah menjadi warga negara Papua Niugini.
Selain Papua Niugini, Singapura menjadi sasaran kaburnya para terpidana korupsi. Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur La Nyalla Mattalitti yang menjadi tersangka kasus dana hibah saat ini dikabarkan ada di Singapura.
Untuk menangkap dan memulangkan buronan ke Tanah Air, aparat Indonesia juga harus memahami hal-hal terkait perjanjian ekstradisi atau ada tidaknya kesepakatan mutual legal assistance antarnegara.
Namun, perjanjian ekstradisi pun tidak serta-merta memuluskan langkah penegak hukum untuk memboyong buronan tersebut kembali ke Tanah Air. Misal saja, Adrian Kiki Ariawan, yang juga merupakan terpidana kasus BLBI.
Sebelum akhirnya diekstradisi, Adrian sempat mengajukan keberatan ke District Court of Perth di Western Australia dengan dalih putusan pengadilan di Indonesia melanggar hak asasi karena dirinya tidak dihadirkan.
Saat itu, Adrian tak hadir dalam persidangan karena dia sudah kabur sebelum proses sidang.
Keberatan Adrian itu dikabulkan dan dikuatkan hingga tingkat banding. Namun, pada tingkat kasasi di High Court of Australia, keberatan Adrian ditolak sehingga kejaksaan dapat memulangkannya untuk menjalani hukuman seumur hidup yang dijatuhkan pada 2003.
Proses hukum di Australia itu membuat penegak hukum harus menunggu hampir empat tahun untuk bisa memulangkan Adrian ke Tanah Air.
Bertambah
Di tengah berbagai kendala itu, jumlah buronan yang ditangkap terus bertambah setiap tahun. Berdasarkan data dari laman Kejaksaan Agung, ada delapan buron yang ditangkap pada 2011.
Pada 2012, buron yang terjaring bertambah menjadi 50 orang. Lalu sebanyak 63 orang ditangkap pada tahun 2013.
Berturut-turut dari 2014 dan 2015, kejaksaan menjebloskan sebanyak 80 buronan dan 86 buronan ke dalam bui. Dari jumlah tangkapan tersebut, 60 persen merupakan koruptor.
"Tidak mudah memang, tetapi kami terus berupaya menangkap para buron. Tidak sekadar orangnya, tapi juga asetnya. Kerja sama dengan negara-negara lain, terutama di ASEAN sudah dijalin," ujar Prasetyo.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Aradila Caesar, menuturkan, masalah hukum antarnegara memang kerap menghambat para penegak hukum menangkap buronan, terutama buronan kelas kakap yang punya kekuatan dan posisi tawar di negara tempatnya bersembunyi.
Guna mengatasi hal itu, perlu komitmen dan keseriusan dari aparat penegak hukum dan instansi terkait. Pasalnya, buronan kelas kakap yang melenggang bebas di negeri orang dan memiliki aset yang tidak terduga jumlahnya, saat ini masih banyak. (RIANA A IBRAHIM)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.