Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

SBY dan Jokowi, di Antara "Haters" yang Gagal "Move On"

Kompas.com - 22/03/2016, 07:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Saat berangkat ke kantor tadi pagi, saya melihat seorang perempuan memacu mobilnya di jalan tol dengan kecepatan nyaris 100 km/jam. Matanya lebih sering menatap cermin di depannya daripada ke jalanan karena ia mengemudi sambil merias mukanya.

Saat dia semakin mendekati dan nyaris masuk ke jalur saya, saya jadi terkejut sehingga ponsel yang sedang saya pakai mengetik saya lepaskan agar tangan saya bisa meraih kemudi. Ponsel itu jatuh ke gelas kopi yang saya apit di antara paha saya, membasahi celana dan membuat ponsel itu mati sama sekali.

Semua itu gara-gara perempuan yang mengemudi ugal-ugalan sambil melakukan hal lain yang semestinya tak dilakukan di balik stir.

Kisah di atas adalah cerita rekaan. Namun pernahkah kita melakukan hal yang serupa? Bukan soal mengemudinya, tapi menyalahkan seseorang atas tindakannya, padahal kita sendiri secara tidak sadar melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih buruk. Jarang kita bercermin saat memberi kritik pada orang lain.

Dalam banyak kesempatan, saya menjadi tempat curhat teman-teman saya. Di antaranya adalah seorang manajer yang “dilengserkan” dan digantikan oleh orang baru.

Setiap kali bertemu, dia membahas topik yang sama, yakni soal penggantinya yang tidak becus bekerja, bagaimana orang baru itu tidak mengerti sistem yang sudah dibangun, bagaimana ia tidak disukai anak buahnya, dan berbagai cerita miring lain.

Saat saya tanya balik mengapa dia diganti, maka semakin banyak orang yang dianggapnya tidak becus dan bersekongkol menyingkirkannya. Saya jadi bertanya-tanya, bila banyak orang tidak sependapat dengan dia, siapa sebenarnya yang tidak becus? Jangan-jangan dia “lupa ngaca” bahwa dahulu dia melakukan hal yang lebih buruk.

Banyak orang seringkali menggunakan kritik untuk menjatuhkan orang lain tapi tidak menyadari dirinya juga tidak kompeten. “Supaya saya tidak terlihat buruk-buruk amat, maka buka saja keburukan orang lain,” begitu taktik mereka yang tidak mampu berkompetisi secara sehat.

Tentu tidak selamanya kritik itu buruk. Mengkritik sejatinya boleh-boleh saja dilakukan. Tapi alangkah baiknya bila dilakukan dengan rasa cinta dan semangat ingin memperbaiki.

Tidaklah bijak bila kita menganggap semua kritikus adalah haters. Ingat, tidak semua orang membencimu. Beberapa orang mengatakan hal yang sebenarnya.

Saat saya mengkritik anak saya yang suka makan burger dalam jumlah banyak, saya tidak sedang membencinya. Justru saya menjaganya agar tidak kegemukan. Saya melakukannya dengan cinta, walau dia dengan muka cemberut akan berteriak, “Bapak jahat!”

Kritik yang membangun inilah yang barangkali disampaikan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mengatakan bahwa pemerintahan  Jokowi jangan jor-joran melakukan pembangunan infrastruktur.

Muhammad Ikhsan Mahar/KOMPAS Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keterangan kepada media mengenai kegiatan "SBY Tour De Java", Selasa (8/3/2016). SBY didampingi istrinya, Ani Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan.
Mungkin SBY khawatir APBN kita tidak akan cukup untuk program pembangunan lainnya, mengingat ekonomi juga sedang lesu. Berprasangka baik, SBY melontarkan kritik karena kecintaanya pada bangsa ini.

Kritik SBY ini akan menjadi sahih bila ia juga memberi contoh yang sama saat dia memerintah, sehingga Jokowi tidak perlu menjawabnya dengan mengunjungi proyek infrastruktur yang mangkrak di Hambalang.

Kita memang perlu berhati-hati dalam melontarkan kritik. Kita musti bercermin dahulu apakah kita cukup bersih untuk “melempar batu” pada orang yang dianggap bersalah. Jangan-jangan kritik kita malah ditanggapi nyinyir karena kita bukan orang yang tanpa cela juga.

Saya ingat saat SBY mengkritik menteri-menteri Jokowi yang dinilai tidak kompak. Hasilnya, banyak tanggapan berupa status di media sosial bernada nyinyir yang menyebutkan, “Menteri-menteri bapak memang lebih kompak. Sampai memakai baju oranye (seragam tahanan KPK) bersama-sama.”

Memberi Solusi

Selain itu, sebagai pengkritik, kita musti bertanya, sudahkah kita menawarkan solusi untuk apa yang kita anggap kurang benar? Ada sebuah cerita dari India yang menggambarkan soal kritik tanpa solusi dengan menarik.

Suatu ketika ada seorang pelukis muda yang baru saja lulus dari sekolah seni. Untuk menguji apakah ia sudah pandai melukis, ia menaruh salah satu lukisannya di jalan yang ramai, lalu menuliskan pesan, “Saya adalah pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Silakan beri tanda silang di tempat saya membuat kesalahan.”

Ia lalu meninggalkan tempat itu beserta sejumlah pensil agar orang bisa memberi tanda pada lukisannya.

Sore harinya, saat ia kembali ke jalan itu, dia mendapati lukisannya sudah dipenuhi tanda silang. Beberapa orang bahkan menambahkan komentar pada ruang-ruang di kanvasnya itu.

Melihat kenyataan tersebut, ia menjadi sedih dan putus asa. Ia pun pergi kepada gurunya dengan perasaan galau.  “Saya ternyata tidak bisa melukis. Saya tidak berbakat. Orang tidak menghargai karya saya,” ujarnya.

Sang guru tersenyum dan berkata, “Muridku, saya akan buktikan kamu adalah pelukis hebat. Kita akan melakukan percobaan sekali lagi.” 

Sang guru kemudian minta murid itu untuk melukis persis dengan lukisan pertama, lalu kembali memajangnya di jalan yang ramai.

Namun kali ini ia diminta menuliskan pesan yang berbeda: “Saya adalah pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Saya menyediakan kuas dan cat warna. Kalau Anda menemukan sesuatu yang kurang sempurna, silakan perbaiki agar menjadi lebih baik.”

Sorenya, saat ia melihat lukisan itu, ia terkejut karena lukisannya tidak berubah. Tidak ada seorangpun yang menyentuhnya. Esok harinya dan hari-hari setelahnya, lukisan itu masih seperti apa adanya. Tidak satupun yang melakukan perbaikan pada lukisannya.

Ketika ia menyampaikan hal itu pada gurunya, sang guru berkata, “Tahulah kamu, memang lebih mudah bagi seseorang untuk mengkritik. Namun banyak dari orang-orang itu sebenarnya tidak bisa memberi solusi agar menjadi lebih baik.”

Kembali pertanyaan untuk kita: Apakah kita menawarkan solusi atas kritik yang kita lontarkan. Ataukah kita hanyalah haters yang gagal move on?

Jangan-jangan kita mengeluhkan kemacetan dan banjir, sementara kita sendiri anti memakai transportasi umum atau suka buang sampah sembarangan. Bila itu yang terjadi, kita bukan memberi solusi, tapi menjadi bagian masalah.

Mereka yang dikritik

Kepada mereka yang menjadi sasaran kritik, ada pepatah berbunyi, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Artinya makin tinggi jabatan, posisi, status sosial atau ekonomi, maka makin banyak juga kritik mendatanginya. Makin banyak orang yang ingin menjatuhkannya.

Maka jika Anda berada dalam posisi yang tinggi, sebaiknya jangan pula terlalu alergi pada angin. Dalam cerita di bawah ini, kritik adalah keniscayaan:

Seorang bapak bersama anaknya pergi ke pasar membawa keledai mereka. Anaknya jalan kaki, sedangkan bapak itu menunggangi keledainya.

Dalam perjalanan, orang-orang berbisik, kata mereka, “Sungguh memalukan. Bapak tidak tahu diri itu membiarkan anaknya jalan kaki sedangkan dirinya enak naik keledai.”

Mendengar kritik itu, sang bapak bertukar tempat dengan anaknya. Si anak naik keledai dan bapaknya berjalan kaki. Namun mereka mendengar komentar lagi, “Lihat anak itu tidak mengasihani bapaknya yang sudah tua dan membiarkannya berjalan.”

Keduanya bingung, lalu memutuskan untuk menunggangi keledai itu bersama-sama.

Berjalan beberapa langkah, kembali ada orang yang mengkritiknya, “Kasihan keledai itu menanggung beban yang berat. Dasar orang-orang tak berbelas kasihan.”

Akhirnya keduanya turun dan memutuskan berjalan kaki bersama. Namun orang lain berseru, “Lihatlah bapak dan anak yang bodoh itu. Mereka punya keledai namun memilih berjalan kaki.”

Cerita ini memberi gambaran bahwa apapun yang dilakukan seseorang, pasti ada orang lain yang menyalahkannya, mengkritiknya.

DOK. KOMPAS -
Bila orang biasa pun tak lepas dari kritik, maka seorang pejabat, apalagi pemimpin negara, sewajarnya juga menerima lebih banyak kritikan. Jika seseorang tidak ingin dikritik, maka janganlah ia melakukan tindakan apapun, jangan bicara apapun, dan jangan menjadi siapa-siapa.

Yang harus dilakukan adalah menerima kritik sebagai cara untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Saat Jenderal Dwight Eisenhower memiliki rencana, ia biasa mengundang para kritikus untuk menguji rencananya, dan mencari kelemahan-kelemahan pada rencana itu.

Seseorang pernah menanyakan mengapa ia membuang-buang waktu dengan para kritikus dan bukannya mengundang para penasehat saja. Eisenhower menjawab, “Kritik akan membantu saya menemukan cacat pada rencana ini sehingga saya bisa menghindarinya atau memperbaikinya.”

Oleh karenanya seorang pemimpin yang dikritik tidak perlu sensi. Tak perlu memberi label “jahat” pada pengkritik. Siapa tahu kritik itu berguna.

Andaipun sebuah kritik ternyata tidak berguna dan dilontarkan karena kecemburuan atau kebencian, dia harus ingat pepatah:  “Tidak ada monumen yang dibangun untuk menghormati pencela.”

Nah, agar tidak dianggap sebagai kecemburuan atau kebencian, kritik sebaiknya disampaikan dengan niat baik, atas dasar perhatian, bahkan bila perlu dalam suasana akrab.

Suatu kali saya mengkritik seorang rekan yang sering mengeluh tidak punya uang, namun tak pernah terlewat membeli sepatu baru untuk menambah koleksinya.

“Kalau untuk sneakers duitnya ada ya?” tanya saya.

Dia menjawab sambil menyodorkan cermin kecil, “Sama seperti kamu, kalau beli boots selalu ada simpanan. Nih ngaca...”

Kami berdua tertawa ngakak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Bakal Jadi Penasihatnya di Pemerintahan, Prabowo: Sangat Menguntungkan Bangsa

Jokowi Bakal Jadi Penasihatnya di Pemerintahan, Prabowo: Sangat Menguntungkan Bangsa

Nasional
Soal Jatah Menteri Demokrat, AHY: Kami Pilih Tak Berikan Beban ke Pak Prabowo

Soal Jatah Menteri Demokrat, AHY: Kami Pilih Tak Berikan Beban ke Pak Prabowo

Nasional
Prabowo: Saya Setiap Saat Siap untuk Komunikasi dengan Megawati

Prabowo: Saya Setiap Saat Siap untuk Komunikasi dengan Megawati

Nasional
Tak Setuju Istilah 'Presidential Club', Prabowo: Enggak Usah Bikin Klub, Minum Kopi Saja

Tak Setuju Istilah "Presidential Club", Prabowo: Enggak Usah Bikin Klub, Minum Kopi Saja

Nasional
1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

Nasional
Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Nasional
Hormati jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Hormati jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Nasional
Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Nasional
PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

Nasional
KPK: Ada Upaya Perintangan Penyidikan dalam Kasus TPPU SYL

KPK: Ada Upaya Perintangan Penyidikan dalam Kasus TPPU SYL

Nasional
Prabowo Koreksi Istilah 'Makan Siang Gratis': Yang Tepat, Makan Bergizi Gratis untuk Anak-anak

Prabowo Koreksi Istilah "Makan Siang Gratis": Yang Tepat, Makan Bergizi Gratis untuk Anak-anak

Nasional
Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Giliran Cucu SYL Disebut Turut Menikmati Fasilitas dari Kementan

Nasional
Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Kinerja dan Reputasi Positif, Antam Masuk 20 Top Companies to Watch 2024

Nasional
KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

KPK Sita 1 Mobil Pajero Milik SYL yang Disembunyikan di Lahan Kosong di Makassar

Nasional
Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Tak Setuju Kenaikan UKT, Prabowo: Kalau Bisa Biaya Kuliah Gratis!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com