Beberapa teman saya uring-uringan ketika hari Minggu beranjak senja. Uring-uringan itu biasanya muncul di status sosial media lantaran akhir pekan segera usai dan hari Senin ada di depan mata.
Karena kerapnya uring-uringan ini dijumpai, ada sejumlah orang yang kemudian meledek. Sebelum uring-uringan itu muncul, bersamaan dengan senja di hari Minggu, sejumlah orang itu dengan “baik hati” mengingatkan: Jangan lupa, besok hari Senin.
Tidak sedikit juga, mereka yang mengingatkan dengan nada meledek itu adalah salah satu dari mereka yang sejatinya uring-uringan juga. Untuk menutupi uring-uringannya dan mengganti kata-kata uring-uringan yang sudah biasa, dengan kata-kata ledekan itu.
Pola ini mirip dilakukan mereka yang uring-uringan karena jomblo dan mendapati hari Sabtu. Menutupi uring-uringan lantaran mendapati paduan maut antara jomblo dan hari Sabtu, muncul beragam ledekan kepada mereka yang jomblo.
Kerap terjadi, mereka yang meledek adalah mereka yang jomblo juga. Sebelum diledek, ledekan kepada yang akan meledek dikeluarkan. Pertahanan terbaik adalah menyerang. Begitu mungkin kira-kira alasan dasarnya.
Sedikit reflektif
Kembali ke hari Minggu dan uring-uringan yang kerap muncul karena menjelang Senin.
Jika kita cukup menyerap informasi dan reflektif sedikit saja saat menyerapnya, tidak ada alasan untuk terus uring-uringan di hari Minggu.
Pada Minggu (20/3/2016) kemarin, misalnya. Benar bahwa Rio Haryanto yang penuh drama untuk bisa tampil berlaga di balapan Formula 1 terhenti di Sirkuit Albert Park, Melbourne. Rio hanya menyelesaikan 18 dari 57 putaran menyusul persoalan teknis pada sistem driveline mesin mobil MRT05-nya.
Komentar Rio bisa membuat uring-uringan kita surut sebenarnya. Rio yang dipuji karena murah senyum meskipun kecewa sudah menyiapkan diri untuk menatap April di Bahrain, laga F1 berikutnya. Tidak ada uring-uringan darinya karena masih ada 20 laga berikutnya. Hari-hari yang akan datang dilihatnya dengan ringan tanpa uring-uringan.
Praveen/Debby memastikan gelar setelah menundukkan pemain ganda Denmark, Joachim Fischer Nielsen/Christina Pedersen, 21-12, 21-17, di Barclaycard Arena, Birmingham, Minggu 13 Maret 2016.
Lewat Rio, Praveen, dan Debby yang muda belia dan menyalakan semangat petarung di dalam dirinya, kerasnya kepala kita untuk tetap uring-uringan tidak cukup alasan sebenarnya.
Namun, teman-teman saya tetap bisa menemukan alasannya untuk tetap uring-uringan. Menurut mereka, Rio, Praveen, Debby atau bahkan Joey Alexander yang tampil dan mendapat sambutan luar biasa di Grammy Award hanya bagian kecil dari Indonesia. Bagian besar Indonesia membuat teman-teman saya tetap uring-uringan.
Saya bertanya, apa misalnya. Dijawab oleh teman-teman saya: politik, politisi, dan panggung yang gaduh olehnya.
Sikap terhadap kritik
Saya lantas berpikir dan mencari. Peristiwa politik seminggu terakhir yang dirasa bikin “gaduh” dan membuat uring-uringan. Segera saya temukan dua aliran politik, dua politisi, dan dua panggung. Untuk temuan ini, saya sejatinya tidak sepakat menyebutnya sebagai kegaduhan.
Seminggu terakhir, dimulai pada 8 Maret 2016, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menggelar “Tour de Java” untuk menyerap aspirasi rakyat dan bertemu kadernya. Presiden ke-6 ini didampingi isteri dan anaknya juga beberapa kali terlihat menantu dan cucunya.
Apa yang dilakukan SBY setelah lama “menghilang” lantaran secara konstitusi tidak bisa lagi menjadi Presiden adalah baik. Tidak hanya untuk partai yang didirikan untuk kendaraan politik dan kini diketuainya, tetapi juga untuk pemerintah yang di dalamnya partai demokrat tidak terlibat sama sekali.
Terbukti, di akhir 13 hari “Tour de Java” di Surabaya, Minggu (20/3/2016), Partai Demokrat menyampaikan pandangan dan rekomendasi terhadap 10 isu nasional terkini. Tidak main-main, pandangan dan rekomendasi ini dilakukan dalam Rapat Konsolidasi dengan 34 Ketua DPD PD seluruh Indonesia dan 60 anggota Fraksi PD DPR-RI.
Kritik SBY memang beberapa kali disampaikan kepada pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo selama tur. Namun, menurut saya, ini wajar sebagai bagian dari demokrasi dan karakter oposisi. Lagi pula, kritik yang disampaikan cukup beralasan. Soal kereta cepat (infrastruktur) dan penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya.
Apa yang dilakukan SBY dengan “Tour de Java” ini tidak hanya layak didengar tetapi juga layak didukung. Jokowi yang senang “blusukan” bisa mencurahkan waktu dan energinya untuk urusan lain atau “blusukan” di daerah lain yang selama ini kurang atau tidak mendapat perhatian. Daerah-daerah jauh di luar Jawa misalnya.
Sedih melihat aset negara di proyek Hambalang mangkrak. Penuh alang-alang. Harus diselamatkan -Jkw pic.twitter.com/LPM3BEfnhS
— Joko Widodo (@jokowi) 18 Maret 2016
Tidak berhenti di situ, sebelum rekomendasi “Tour de Java” dibacakan dengan pokok pertama soal infrastruktur, Jokowi masih lewat Twitter menjelaskan sikapnya. Usai meresmikan jalan tol Surabaya-Mojokerto sebagai kunci membangun sentra ekonomi baru Jawa Timur (19/3/2016), Jokowi menyebut: Bangun infrastruktur jangan ditunda.
Tol Surabaya-Mojokerto ini kunci membangun sentra ekonomi baru Jawa Timur. Bangun infrastruktur jangan ditunda -Jkw pic.twitter.com/yMYZVUhF2Q
— Joko Widodo (@jokowi) 19 Maret 2016
Di hari yang sama, SBY didampingi Ani, Ibas, menantu, dan cucunya mengunjungi Jembatan Suramadu. Jembatan yang lama hanya digagas di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, direalisasikan pembangunannya dan diresmikan oleh SBY tahun 2009.
Jembatan Suramadu, resmi dibuka th 2009. Infrastruktur yg hingga kini manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat pic.twitter.com/eaoEXviYZz
— | iBas Yudhoyono | (@Edhie_Baskoro) 19 Maret 2016
Di akun Twitternya, Ibas menyebut, Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madura sebagai infrastruktur yang hingga kini manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Tidak lupa, SBY, Ani, Ibas, menantu dan cucunya berfoto bersama. Masyarakat yang ada di sekitar jembatan itu juga diajak serta.
Banyak yang memuji langkah cekatan Jokowi yang bersemboyan kerja, kerja, kerja karena hasilnya nyata. Pujian itu disampaikan termasuk untuk kunjungan politiknya yang cekatan ke Hambalang. Dukungan para pemujanya juga dikemukakan melalui media sosial tak kurang-kurang.
Namun, bagi saya, langkah cekatan Jokowi ke Hambalang dan mekanisme pertahanan diri soal infrastruktur adalah tanda awal bahaya. Kritik tampaknya akan sulit diterima.
Oya, apa kabar mantan Ketua DPR Setya Novanto yang dalam rekaman menceritakan pengalamannya berhadapan dengan Presiden Jokowi? Masih ingat, Setya Novanto dalam rekaman itu menyebut apa?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.