Nah, yang paling bahaya –atau mungkin paling lucu— adalah menyangkut psikologis di mana perasaannya masih berstatus bukan mantan alias masih berstatus seperti yang dulu sebelum menjadi mantan.
Apakah kondisi seperti ini yang disebut Post Power Syndrome? Belum tentu juga. Masak iya para mantan pacar Anda di SMA itu menderita PPS? Paling mereka butuh perhatian lebih saja dari Anda. Mereka adalah para mantan yang tidak mau kehilangan perhatian dan harus terus mencari perhatian.
Di ranah politik, kurang apa lagi bapak-anak yang pernah jadi orang nomor satu di Amerika Serikat, yaitu “Bush” senior-junior, demikian garang saat berkuasa sampai-sampai bisa melenyapkan satu negara berdaulat.
Toh setelah menjadi mantan mereka turun dari gelanggang politik yang gemerlap secara istiqomah, merelakan kekuasannya kepada penggantinya.
Bill Clinton setelah menjadi mantan, ia tidak merecoki Barack Obama yang menggantikannya. Ia istiqomah sebagai mantan dan hanya bergerak di bidang kemanusiaan, filantropi.
Atau, tidak usah jauh-jauh ke Amerika sana. Tengok negeri sendiri, ada BJ Habibie yang berstatus mantan, yaitu mantan Presiden RI. Ia memagari dirinya dari terpaan serta godaan politik. Ia cukup menjadi Guru Bangsa, Bapak Bangsa, dan sudah seharusnya menjadi Negarawan.
Tetapi, memang tidak ada larangan juga kalau ada mantan Presiden lainnya yang masih bersentuhan dengan dunia politik, bahkan masih mau mengurusi partai politik. Ini pilihan.
Selagi berkhidmat kepada dunia politik, meski ia seorang mantan sekalipun, maka “kepentingan” akan menjadi negasi dari sikap “kenegarawanan”.
Apa yang diucapkannya sampai berbusa-busa pun, dalam pidato di ruang terbuka, cuitan di Twitter, atau keluh-kesah di media sosial, tidak akan ada yang mau menggubrisnya. Salah-salah orang nyeletuk, “Biasalah, mantan memang begitu.”
Apa jabatan yang lebih tinggi dari Perdana Menteri atau Presiden yang bisa diraih biar terhindar dari sebutan mantan? Bisa saja membidik Sekjen PBB. Bukan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang, tetapi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
Tetapi itu memerlukan upaya luar biasa. Selain “biasanya” bergiliran benua, jabatan Sekjen PBB haruslah orang yang aktif dan concern terhadap kemanusaiaan serta perdamaian dan itu mendapat pengakuan dunia.