Kata “mantan” konon berasal dari bahasa Basemah di Sumatera Selatan yang bermakna eks atau bekas itu tadi. Kata “mantan” menurut cuitan Wikipediawan Ivan Lanin di Twitter, diusulkan oleh Ahmad Bastari Suan di majalah Pembinaan Bahasa Indonesia beberapa tahun silam.
Dalam perjalanannya, kedudukan dan hierarki kata ini menjadi jauh “lebih tinggi” dibanding kata yang sudah ada, yaitu “eks” atau “bekas”.
Rasanya tidak pantas menyebut Perdana Menteri yang telah purnatugas sebagai “bekas Perdana Menteri” atau malah “eks Perdana Menteri”. Penyebutan yang lumrah dan terkesan sopan ya “mantan Perdana Menteri”, bukan?
Mana ada dalam berita wartawan atau penyiar menyebutkan, “Bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan....” dan seterusnya. Selalu dikatakan Mantan Perdana Menteri Malaysia.
Sebaliknya, alangkah terlalu sopannya kalau menyebut “mantan anggota G30S PKI” atau “mantan residivis”. Kata yang tepat untuk keduanya adalah “eks” atau “bekas”. Bahasa ternyata pilih kasih.
Tetapi, sebentar.... Ini bukan pembahasan soal bahasa, ini perihal mantan, tepatnya psikologi mantan.
Di Indonesia, kosakata mantan lebih banyak dipakai dalam urusan politik, bukan urusan lainnya. Contohnya mantan Perdana Menteri itu tadi.
Maka ada jajaran para mantan selain mantan Perdana Menteri, yakni mantan Presiden, mantan Wapres, mantan gubernur, mantan walikota, mantan bupati, mantan menteri, mantan KSAD, mantan ketua umum partai politik, dan bahkan mantan pemimpin redaksi sebuah koran.
Dari sisi si mantan, para mantan itu hanya diklasifikasikan menjadi dua saja; mereka yang menerima penuh kemantanannya alias istiqomah dan yang setengah menolak kemantanannya.
Mengapa tidak dikatakan menolak penuh kemantanannya yang merupakan lawan dari menerima penuh kemantanannya? Kenapa cuma dikatakan “setengah menolak”?
Boleh jadi, dalam skala tertentu saat mantan menolak penuh kemantanannya, ia sering sadar juga siapa diri yang sebenarnya, bahwa ada seseorang yang telah menggantikannya. Ini mantan yang istiqomah namanya.
Tetapi yang dikatakan setengah menolak kemantanannya itu bermakna, ia menolak menjadi mantan sepenuhnya.
Lho kok bisa? Ya bisalah, sebab ia merasa belum ada seseorang yang menggantikannya, atau setidak-tidaknya, belum ada yang pantas menggantikannya.