Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lima Alasan Jokowi Harus Tolak Revisi UU KPK Versi ICW

Kompas.com - 18/02/2016, 17:56 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Bidang Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebutkan lima alasan bagi Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Jokowi sebaiknya memboikot, tidak perlu mengeluarkan Surat Presiden, dan tidak perlu mengirimkan wakil mereka dalam pembahasan," ujar Emerson dalam diskusi Gerakan Antikorupsi di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/2/2016).

Pertama, berdasarkan survei, 50 persen publik menolak revisi UU KPK. Selain itu, dalam sebuah petisi, hampir 60.000 netizen yang menyatakan menolak pembunuhan KPK melalui revisi undang-undang.

(baca: Politisi PDI-P Minta Jokowi Dengarkan Yasonna, Bukan Johan Budi soal Revisi UU KPK)

Kedua, fakta menunjukkan bahwa tidak ada satu pun poin revisi yang memperkuat KPK. Substansi revisi justru memperlemah dan menghambat kerja KPK.

"Poin-poin revisi justru keluar dari kesepakatan yang dikatakan Pak Luhut (Menko Polhukam), soal penyadapan dan dewan pengawas, artinya ini tidak perlu disetujui," kata Emerson.

Selain itu, menurut Emerson, salah satu janji Jokowi dalam Nawacita, yakni penguatan terhadap KPK. (Baca: Jokowi Cermati Gelombang Penolakan Revisi UU KPK)

Menurut Emerson, jika Jokowi komitmen dengan Nawacita, maka mau tidak mau Jokowi harus menolak revisi UU KPK.

Keempat, tidak ada urgensi dalam rencana revisi UU KPK. Padahal, ada undang-undang lain yang membutuhkan revisi seperti UU Kepolisian, Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Naskah akademik tidak dibuka ke publik, tidak ada alasan jelas," kata Emerson. (baca: Politisi PDI-P: Naskah Akademik Revisi UU KPK Tak Boleh Beredar di Publik)

Kemudian yang terakhir, jika menyetujui revisi UU KPK, Jokowi akan mempertaruhkan citranya di mata publik. Jokowi akan dikenal sebagai Presiden yang melemahkan KPK.

Rapat paripurna pengambilan keputusan dilanjutkan atau tidaknya pembahasan revisi UU KPK sedianya digelar hari ini. (baca: Ketua KPK Blak-blakan soal Penyadapan dan Ancaman Revisi UU)

Namun, rapat paripurna itu ditunda hingga Selasa (23/2/2016). PDI-P menjadi motor pengusul revisi UU KPK ini dan didukung oleh enam fraksi lain.

Sementara itu, yang menolak hanya tiga fraksi, yakni Gerindra, Demokrat, dan PKS. (baca: SBY Makin "Pede" Tolak Revisi UU KPK Setelah Dengar Pendapat "Netizen")

Setidaknya, ada empat poin yang ingin dibahas dalam revisi, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), serta kewenangan rekrutmen penyelidik dan penyidik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com