JAKARTA, KOMPAS.com - Masa jabatan pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi memang masih terbilang muda.
Sejak dilantik pada 21 Desember 2015, belum "seumur jagung" lima orang dengan berbagai latar belakang itu memimpin KPK, lembaga antirasuah yang merupakan salah satu institusi kepercayaan publik.
Awalnya, sempat muncul keraguan terhadap lima pimpinan KPK tersebut. Namun, baru beberapa hari sejak pimpinan barunya dilantik, KPK sudah membuat gebrakan dengan melakukan operasi tangkap tangan.
Seorang anggota DPR dari PDI Perjuangan selaku partai penguasa, Damayanti Wisnu Putranti, ditangkap terkait suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Rabu (13/1/2016) malam.
Dalam wawancara khusus kepada Kompas.com, Ketua KPK Agus Rahardjo menganggap operasi tangkap tangan (OTT) sebagai sebuah pembuktian untuk menjawab kerugian publik.
"Kalau tahun lalu, OTT lima kali ya. Kalau ini cepat juga OTT-nya, begitu dimonitor begitu terus kan, tiga minggu (sejak pelantikan) sudah ada OTT, itu menggembirakan," tutur Agus Rahardjo, saat menemui Kompas.com di kantornya, Selasa (16/2/2016).
Tidak hanya itu, KPK di bawah pimpinan Agus kemudian melakukan OTT kedua pada Jumat (12/2/2016) malam. Kali ini, KPK menangkap Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna.
Dua OTT dalam waktu dua bulan tentu menjadi sebuah prestasi tersendiri. Agus Rahardjo menilai bahwa keberhasilan ini tidak lepas dari proses penyadapan yang dilakukan KPK.
Perhatian khusus
Agus mengaku memberikan perhatian khusus terhadap proses penyadapan yang dilakukan KPK. Hal ini tidak lepas dari upaya menjaga keseimbangan fungsi KPK dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
"Sehari begitu saya datang, langsung saya terapkan dan naik ke atas (ruang penyadapan). Teman-teman kalau intercept (menyadap) apa sih yang dilakukan, saya tungguin," ucap Agus.
Pimpinan KPK, menurut Agus, kemudian memahami bahwa kapasitas untuk melakukan penyadapan perlu ditingkatkan. Peningkatan itu, terutama dari segi jumlah penyadapan yang dilakukan.
Selain itu, teknologi terkait penyadapan pun sedang dipertimbangkan untuk terus ditingkatkan.
"Mudah-mudahan kita pengin pekerjaan manusia digantikan, bisa voice to text. Jadi nanti lebih cepat membacanya kan, daripada mendengarkannya," ucap mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah itu.
Kekhawatiran akan revisi
Selama ini penyadapan memang menjadi salah satu andalan KPK untuk menjerat koruptor. Rekaman hasil penyadapan juga menjadi alat bukti yang ampuh digunakan dalam persidangan untuk memperberat hukuman pelaku kejahatan korupsi.
Namun, rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang prosesnya saat ini tengah berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat mengancam KPK kehilangan "kesaktiannya".
(Baca juga: Agus Rahardjo: Banyak "Penumpang Gelap" di Balik Revisi UU KPK)
Salah satu poin revisi juga mengatur soal penyadapan. KPK, jika revisi UU itu berhasil dilakukan, harus melakukan penyadapan atas izin dewan pengawas. Dengan demikian, KPK pun terancam kehilangan "senjata ampuh" untuk menjerat koruptor.
Agus menilai aturan mengenai izin penyadapan akan mengganggu kinerja KPK. Dengan proses birokrasinya yang semakin panjang, maka proses penyadapan itu juga dikhawatirkan akan bocor ke target yang akan disadap.
"Kalau saya istilahnya seperti ini, Anda ini Satpol PP mau razia Pasar Tanah Abang, seringkali waktu datang ke sana sudah bersih. Ini karena info sudah tersebar. Sekarang siapa yang bisa menjamin (tidak bocor)?" tutur Agus.
Agus sangat menyayangkan jika KPK kehilangan kemampuannya dalam hal penyadapan. Apalagi, saat ini masih banyak koruptor yang nekat beraksi meski sudah tahu kalau tindak-tanduknya sedang diawasi KPK.
"Orang nekat tetap ada," tutur Agus, sambil bercerita mengenai salah satu kasus yang ditangani.
"Bayangin saja, kami sudah intercept (sadap), tapi kok masih usaha. Itu kan bukan kebetulan, karena kami memang mengamatinya sejak lama," ucapnya.
Tidak setuju dewan pengawas
KPK pun mencermati mengenai adanya dewan pengawas, salah satu poin dalam revisi UU KPK. Menurut Agus, agak janggal jika kehadiran dewan pengawas akan ikut campur mengurusi performa penegak hukum.
(Baca: Ini Konsep Dewan Pengawas KPK yang Diinginkan DPR)
"Kayak Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan, kan enggak sampai awasi performanya. Kompolnas kan usulkan calon kapolri, mana ada tugas komisi yang tugasnya seperti di draf (revisi UU KPK) itu?" tuturnya.
(Baca juga: Pimpinan KPK Akan Yakinkan Presiden untuk Tolak Revisi UU KPK)
Selain itu, keberadaan dewan pengawas pun akan bentrok dengan dewan penasihat yang selama ini sudah ada di KPK. Jika pun nantinya ada semacam lembaga pengawas, Agus setuju jika kehadirannya untuk mengawasi etika pejabat dan pegawai KPK.
"Jadi kalau sampai pekerjaan yang detail, itu ya bukan kerjaannya. Lalu kemudian yang dimaksud (KPK sebagai) organisasi independen itu apa? Karena di UU jelas sekali, tidak tunduk pada kekuasaan mana pun," tutur Agus.
"Hanya awasi etika saja mungkin iya. Selama ini (pengawasan) ada dewan penasihat. Kalau ada dewan pengawas akan bentrok dengan dewan penasihat tadi," kata Agus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.