Suatu ketika, Hoegeng mendapat tugas ke Surabaya pada tahun 1952 menjadi Wakil Kepala Direktorat Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN). Di sana, Hoegeng mendapat informasi dari bawahannya bahwa hanya ada satu rumah dinas yang tersisa di Surabaya.
"Keadaannya bagaimana?" tanya Hoegeng.
"Kamarnya ada dua, Pak! Ada kamar mandi, dapur!"
"Kalau begitu, ya saya pindah ke sana saja!"
"Tapi pak, kurang pantas bagi Bapak. Rumah itu hanya untuk yang berpangkat inspektur polisi!"
"Ya sudah peduli amat. Saya kan belum punya rumah," ujar Hoegeng dengan nada gembira seperti yang dituliskan dalam buku "Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan".
Dia pun melapor kepada atasannya soal rumah dinas baru itu. Sang atasan langsung mencibir pilihan Hoegeng dengan mengatakan rumah itu tak cocok untuk perwira seperti Hoegeng.
Namun, dia tidak peduli. Hoegeng tidak sabar memberitahukan sang istri soal rumah dinas sederhana itu saat Merry dan anak-anaknya tiba di Surabaya dari Jakarta.
Merry tampak antusias dengan rumah baru yang diceritakan Hoegeng. Namun, begitu sampai di Jalan Tidar 105, Hoegeng melihat istrinya tertegun.
"Saya kira rumahnya tak sekecil ini mas," kata Merry. Hoegeng pun tertawa sambil berucap, "tapi di Jakarta tak ada rumah dinas buat kita."
Hoegeng bersyukur memiliki istri dan keluarga yang mengerti pilihannya. Merry pun tak lagi menanyakan soal rumah mungil itu.
Merry tampaknya sudah terbiasa dengan kondisi serba sulit apalagi ditambah dengan kemauan Hoegeng yang tak pernah berpikir bisa hidup mewah. Saat di Jakarta, Merry dan Hoegeng juga sempat tinggal di garasi mobil seorang kerabat.
Selanjutnya: Fitnah cincin berlian