Jika dikatakan pembangunan daerah bisa terganggu, toh di 269 daerah itu kini ada penjabat kepala daerah. Merekalah yang menjalankan pembangunan tahun lalu sehingga penyerapan anggaran daerah meningkat signifikan. Kita harus taat asas kalau betul-betul mau menata sistem pilkada secara serius. Pragmatisme politik harus disingkirkan, lebih-lebih jika ada pikiran supaya bisa mengatur lelang proyek tahun ini.
Revisi mesti dikebut
Masukan lain, dalam revisi UU No 8/2015 seyogianya pilkada tidak dilakukan secara berpasangan, tetapi tunggal (mono eksekutif). Cukup kepala daerah yang dipilih, seperti pada UU No 1/ 2015. Adapun untuk wakil bisa diangkat dari PNS atau non-PNS. Model ini bisa mencegah terjadinya "pecah kongsi" antara kepala daerah dan wakilnya. Data selama pilkada langsung 2005-2014, terdapat 971 (94,64 persen) pasangan pecah kongsi dan hanya 55 (5,36 persen) pasangan yang maju bersama kembali.
Kita tidak ingin pemerintah daerah kacau gara-gara kepala daerah dan wakilnya tidak akur, birokrasi terbelah, dan rakyat disuguhi pendidikan politik yang buruk karena pertarungan orang nomor satu dan orang nomor dua. Akhirnya, sanksi pidana terhadap pelaku politik uang, baik penerima maupun pemberi, dalam pemungutan suara pilkada hendaknya diatur dengan tegas.
Revisi tersebut harus dikebut. Sebelum Juni 2016 mesti sudah selesai karena tahapan pilkada serentak Februari 2017 (grup II) dimulai pada Juni 2016. Di tangan pemerintahlah tanggung jawab direktifnya: mau dibawa ke jalan pragmatis atau idealis pilkada serentak kita ini?
Djohermansyah Djohan
Direktur Jenderal Otda Kemendagri (2010-2014); Presiden Institut Otda
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Merancang Pilkada yang Berkualitas".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.