Oleh: Djohermansyah Djohan
JAKARTA, KOMPAS - Pada 9 Desember 2015 telah dilaksanakan pilkada serentak di 264 daerah dari 269 daerah yang direncanakan, berlangsung di delapan provinsi, 222 kabupaten, dan 34 kota.
Ada lima daerah tertunda pemungutan suara gara-gara sengketa di pengadilan tata usaha negara (PTUN):Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, dan Kota Manado. Belakangan, Kabupaten Fakfak pada 16 Januari 2016 telah menggelar pencoblosan, begitu pula Provinsi Kalimantan Tengah (27 Januari 2016). Adapun tiga daerah lainnya direncanakan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) susulan pada Februari 2016.
Fenomena unik lain, terdapat tiga kabupaten yang hanya punya satu pasangan calon (Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara). Di samping itu, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial.
Pertama,putusan yang menetapkan PNS, TNI/Polri serta anggota DPR, DPD, dan DPRD wajib mundur saat penetapan pasangan calon. Dampaknya, pilkada minim kandidat karena ”takut” kehilangan status PNS, anggota TNI/Polri, ataupun anggota Dewan. Kedua,putusan yang membolehkan mantan narapidana ikut maju dalam pilkada telah mencederai ketentuan bahwa calon tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Ketiga, putusan penghapusan pembatasan ”politik dinasti” telah mendorong lahirnya kembali calon-calon dari kerabat petahana (anak, mantu, ponakan, dan istri). Keempat, putusan yang menolak mengadili sengketa hasil pilkada jika selisih suara 2 persen lebih, menuai protes dari pencari keadilan. Kelima,putusan tentang calon tunggal yang perlu ditindaklanjuti.
Persoalan lain, akibat dana pilkada yang dibebankan pada APBD, pilkada di puluhan daerah berjalan seret sehingga mengganggu kelancaran tahapan dan tugas KPUD dan Bawaslu. Pilkada serentak yang didengung-dengungkan murah ongkosnya ternyata mahal.
Kemudian, ketiadaan batas "atas" ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan telah mengakibatkan diborongnya parpol oleh kandidat kuat sehingga muncullah daerah bercalon tunggal. Politik uang dalam pencalonan ataupun pemungutan suara masih merajalela. Terakhir, waktu pelantikan kepala daerah direncanakan pemerintah tidak serentak. Akibatnya, tujuan pilkada serentak untuk menyatukan akhir masa jabatan kepala daerah guna menuju pilkada serentak nasional di 541 daerah otonom bisa buyar.