Perlu dikoreksi
Dari segudang masalah di atas, revisi UU No 8/2015 tentang Pilkada perlu dan mendesak dilakukan. Lebih-lebih lagi pilkada serentak tahap kedua, Februari 2017, sudah di ambang pintu.
Beberapa hal yangperlu dikoreksi, pertama,penetapan pasangan calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan DPRD sebaiknya wajib mundur sejak ditetapkan sebagai pemenang kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan calon. Ini berguna untuk mencegah calon tunggal. PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi berani maju. Khusus untuk bekas narapidana yang akan maju perlu ditata kembali dengan memperberat syaratnya. Kita menginginkan pilkada berkualitas, yaitu daerah dipimpin oleh orang yang punya integritas, bukan orang yang buruk perangainya. Untuk mencegah munculnya praktik ”politik dinasti” perlu didaur ulang syarat pengaturan relasi calon dengan petahana sehingga tidak bisa dibatalkan MK.
Kedua, dana penyelenggaraan pilkada sebaiknya disediakan melalui APBN, bukan APBD. Mengapa? Hal ini guna menghindari dari ”permainan” anggaran oleh kepala daerah dan DPRD karena berbeda kepentingan politik sehingga APBD-nya terlambat disahkan, yang dapat mengganggu penahapan pilkada serta tugas KPUD dan Bawaslu. Lagi pula, pilkada serentak nasional merupakan agenda strategis nasional sehingga tepat jika didanai dari APBN. Lembaga penyelenggaranya pun KPU dan Bawaslu yang bersifat nasional, bukan lokal.
Ketiga, ambang batas perolehan kursi/suara parpol pengusung kandidat sebaiknya tetap mengacu angka minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah, yang terbukti mampu meminimalkan banyaknya calon. Dulu, dengan UU Pilkada lama, bahkan ada daerah yang jumlah calonnya sampai 11 pasangan. Sekarang, rata-rata jumlah calon yang berkontestasi tiga pasangan. Adapun batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan sebaiknya tidak perlu diatur. Akan tetapi, yang perlu diatur adalahpemberian sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon, misalnya melarang parpol tersebut mengajukan calon pada pilkada berikutnya.
Keempat,dalam hal penyelesaian sengketa proses pilkada di PTUN hendaknya diberi batas waktu, seperti penyelesaian sengketa hasil di MK selama maksimal 45 hari. Kasus Pilkada 2015 di mana putusan PT-TUN yang berujung pada kasasi di MA memakan waktu lama sehingga pilkada serentak di lima daerah gagal dilaksanakan. Untuk sengketa hasil yang diajukan ke MK, syarat selisih tipis dengan kisaran 0,5 persen-2 persen sebaiknya tetap dipertahankan karena sangat signifikan mengurangi jumlah gugatan. Namun, pembentukan badan peradilan khusus perlu diprioritaskan.
Kelima,pelantikan pemenang sebaiknya tetap dilaksanakan serentak pada Juni 2016 (gubernur 17 Juni di Ibu Kota negara, bupati/wali kota 28 Juni 2016 di ibu kota provinsi) mengikuti batas akhir masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah lama. Pilkada serentak berarti serentak nyoblos dan serentak pula pelantikannya. Hanya dengan itu, nanti akan ketemu pilkada serentak nasional di 541 daerah pada 2027 atau bahkan bisa lebih cepat lagi. Tanpa itu, akhir masa jabatan kepala daerah akan kembali berbeda-beda.