Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merancang Pilkada yang Berkualitas

Kompas.com - 11/02/2016, 21:00 WIB

Perlu dikoreksi

Dari segudang masalah di atas, revisi UU No 8/2015 tentang Pilkada perlu dan mendesak dilakukan. Lebih-lebih lagi pilkada serentak tahap kedua, Februari 2017, sudah di ambang pintu.

Beberapa hal yangperlu dikoreksi, pertama,penetapan pasangan calon bagi PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan DPRD sebaiknya wajib mundur sejak ditetapkan sebagai pemenang kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, bukan saat penetapan pasangan calon. Ini berguna untuk mencegah calon tunggal. PNS, TNI/Polri, anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi berani maju. Khusus untuk bekas narapidana yang akan maju perlu ditata kembali dengan memperberat syaratnya. Kita menginginkan pilkada berkualitas, yaitu daerah dipimpin oleh orang yang punya integritas, bukan orang yang buruk perangainya. Untuk mencegah munculnya praktik ”politik dinasti” perlu didaur ulang syarat pengaturan relasi calon dengan petahana sehingga tidak bisa dibatalkan MK.

Kedua, dana penyelenggaraan pilkada sebaiknya disediakan melalui APBN, bukan APBD. Mengapa? Hal ini guna menghindari dari ”permainan” anggaran oleh kepala daerah dan DPRD karena berbeda kepentingan politik sehingga APBD-nya terlambat disahkan, yang dapat mengganggu penahapan pilkada serta tugas KPUD dan Bawaslu. Lagi pula, pilkada serentak nasional merupakan agenda strategis nasional sehingga tepat jika didanai dari APBN. Lembaga penyelenggaranya pun KPU dan Bawaslu yang bersifat nasional, bukan lokal.

Ketiga, ambang batas perolehan kursi/suara parpol pengusung kandidat sebaiknya tetap mengacu angka minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah, yang terbukti mampu meminimalkan banyaknya calon. Dulu, dengan UU Pilkada lama, bahkan ada daerah yang jumlah calonnya sampai 11 pasangan. Sekarang, rata-rata jumlah calon yang berkontestasi tiga pasangan. Adapun batas ”atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan sebaiknya tidak perlu diatur. Akan tetapi, yang perlu diatur adalahpemberian sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon, misalnya melarang parpol tersebut mengajukan calon pada pilkada berikutnya.

Keempat,dalam hal penyelesaian sengketa proses pilkada di PTUN hendaknya diberi batas waktu, seperti penyelesaian sengketa hasil di MK selama maksimal 45 hari. Kasus Pilkada 2015 di mana putusan PT-TUN yang berujung pada kasasi di MA memakan waktu lama sehingga pilkada serentak di lima daerah gagal dilaksanakan. Untuk sengketa hasil yang diajukan ke MK, syarat selisih tipis dengan kisaran 0,5 persen-2 persen sebaiknya tetap dipertahankan karena sangat signifikan mengurangi jumlah gugatan. Namun, pembentukan badan peradilan khusus perlu diprioritaskan.

Kelima,pelantikan pemenang sebaiknya tetap dilaksanakan serentak pada Juni 2016 (gubernur 17 Juni di Ibu Kota negara, bupati/wali kota 28 Juni 2016 di ibu kota provinsi) mengikuti batas akhir masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah lama. Pilkada serentak berarti serentak nyoblos dan serentak pula pelantikannya. Hanya dengan itu, nanti akan ketemu pilkada serentak nasional di 541 daerah pada 2027 atau bahkan bisa lebih cepat lagi. Tanpa itu, akhir masa jabatan kepala daerah akan kembali berbeda-beda.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com