Perkembangan teknologi digital turut mengubah wajah konsumen media. Mereka menjadi lebih aktif dan interaktif dalam bermedia. Hasil jajak pendapat memperlihatkan, frekuensi mengikuti pemberitaan di media cetak, media berita online, dan media sosial menunjukkan angka yang relatif sama. Rata-rata 34 persen responden mengaku setiap hari mengikuti pemberitaan dari ketiga jenis media tersebut. Hal ini menjadi gambaran gencarnya penetrasi dunia digital yang berhasil membelah minat publik untuk mengonsumsi berita dari jalur digital selain dari media cetak.
Perubahan ini menciptakan publik yang semakin kritis, terbuka, dan turut aktif memengaruhi proses jurnalisme itu sendiri. Pendek kata, jika sebelumnya jurnalisme satu arah, perlahan telah ”digempur” oleh jurnalisme dua arah dan interaktif. Bisa jadi inilah yang oleh Jurgen Habermas (2001) disebut sebagai public sphere (ruang publik), komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.
Hal ini pada akhirnya menjadi tantangan kedua bagi kebebasan pers itu sendiri. Profesionalisme pers menjadi kata kunci dan syarat mutlak untuk menyajikan kredibilitas dari produk jurnalistik yang disuguhkan ke publik. Sebab, tidak jarang kemudian jika tanpa melakukan ini, pers akan menjadi sorotan dan tentu saja ancaman, terutama bagi pihakpihak yang merasa dirugikan.
Berbeda dengan masa Orde Baru ketika tekanan berwujud sensor, pemberedelan, dan pelarangan, kini ancaman dan potensi tekanan lahir justru dari publik itu sendiri. Tokoh pers Atmakusumah, dalam tulisannya pada Hari Pers Nasional 2015, menyebutkan soal tekanan publik terhadap pers, terutama terkait apa yang disebut kriminalisasi pers. Pekerja pers masih terancam terjerat hukum terkait penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat memenjarakan pekerja pers karena karya jurnalistiknya.
Beruntung lahir Surat Edaran Mahkamah Agung yang ditunjukan kepada para hakim di seluruh Indonesia berupa anjuran agar hakim meminta bantuan Dewan Pers untuk mengirimkan saksi ahli pers ketika pengadilan memproses perkara pers. Hal ini sedikit banyak mengurangi tekanan secara hukum pada pekerja pers. Namun, ini pun belum menjamin pasti pers aman dari jeratan hukum akibat dari karya jurnalistiknya.
Inilah jalan terjal pers Indonesia yang harus menguatkan nilai dan kualitas dari kebebasan pers guna memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Selamat Hari Pers!
(LITBANG KOMPAS)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Februari 2016, di halaman 4 dengan judul "Tantangan Kebebasan Pers".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.