Kekuatan politik yang dulu menguasai sebagian besar kursi parlemen bernama Koalisi Merah Putih (KMP) kini hampir tak bersisa. KMP ibarat peribahasa hidup segan mati tak mau.
KMP dibentuk pada Pemilu Presiden 2014. Saat itu, sejumlah partai politik bergabung menjadi satu dan mendukung calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Hatta Rajasa.
Calon presiden Prabowo Subianto secara resmi mendeklarasikan koalisi permanen Merah Putih di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin (14/7/2014). Ia pun diangkat sebagai pemimpin KMP, sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie didaulat menjadi Ketua KMP.
Adapun partai politik yang tergabung dalam KMP adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang.
(Baca: Kubu Prabowo-Hatta Yakin Golkar Tak Akan Loncat ke Kubu Jokowi-JK)
"Intinya, itikad tujuh partai ini ialah untuk melakukan kerja sama secara permanen mengawal NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, pemerintah yang efisien, stabil, membawa perbaikan ke kehidupan bangsa dan negara," kata Prabowo dalam acara deklarasi Koalisi Merah Putih, di Tugu Proklamasi.
Sementara itu, partai-partai yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla juga tak mau kalah. Partai politik yang terdiri atas PDI-P, Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa, dan PKPI bergabung membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
(Baca: Prabowo: Jangan "Negative Thinking" Koalisi Merah Putih Akan Pecah)
Dalam perjalanannya, KMP yang kalah dalam pemilu presiden menyatakan akan memegang fungsi pengawasan dari luar pemerintahan. KMP akan siap mendukung kebijakan yang pro rakyat. Namun, sebaliknya, mereka akan mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat.
Namun, di balik dalih pengawasan itu, KMP justru dinilai menggunakan mayoritas kekuasaan di legislatif untuk menjegal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hal ini terlihat dalam sengitnya pertarungan memperebutkan kursi pimpinan MPR hingga DPR.
Selanjutnya: Suksesi dan perubahan haluan
Suksesi dan perubahan haluan
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, dalam wawancara dengan Kompas.com pada 2014 lalu, pernah memprediksi bahwa koalisi permanen Merah Putih yang diusung oleh partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa hanya sebagai manuver jangka pendek.
Menurut Arie, partai-partai dalam koalisi tersebut memiliki faksi-faksi internal sehingga sulit bagi koalisi tersebut untuk dapat bertahan dalam waktu lama. Soliditas dan komitmen memang tampaknya tidak berlaku dalam dunia politik. Keberpihakan akan selalu bergantung pada nilai keuntungan yang diperoleh.
Memasuki tahun 2015, perubahan arah dukungan mulai terlihat di tiap-tiap internal partai KMP. Hal ini dipicu dari suksesi yang terjadi di internal partai itu. Pergantian ketua umum menjadi momen krusial yang menentukan arah politik partai.
Tak lama setelah terpilih sebagai Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan menyatakan dukungan terhadap pemerintah saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (2/9/2015).
Zulkifli mengatakan, sikap itu diambil karena PAN ingin memperlihatkan bahwa kondisi politik di Indonesia tidak terpecah. Hal itu perlu untuk meyakinkan investor dan para pelaku usaha tentang kondisi perekonomian Tanah Air.
Partai selanjutnya yang menyatakan dukungan ke pemerintah adalah Partai Golkar.
Partai berlambang pohon beringin yang terpecah pasca-Musyawarah Nasional 2014 itu sebenarnya sudah lama mendukung pemerintah.
Namun, dukungan itu hanya disampaikan sepihak oleh kubu yang dipimpin Agung Laksono. (Baca: Deklarasi Golkar Dukung Jokowi-JK dan "Jalan Mulus" dari Menkumham...)
Adapun kubu lain yang dipimpin Aburizal Bakrie baru menyatakan dukungan secara resmi pada penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di JCC Senayan, Jakarta, Senin (25/1/2016).
Dukungan tersebut disampaikan dalam bentuk deklarasi, yang dibacakan oleh Wakil Ketua Panitia Rapimnas Yorrys Raweyai dan didampingi oleh 34 ketua DPD I Golkar.
Serupa dengan Golkar, PPP yang juga terpecah sebenarnya sudah lama menyatakan dukungan untuk pemerintah. Dukungan itu disampaikan sepihak oleh kubu yang dipimpin oleh M Romahurmuziy.
Sementara itu, kubu lainnya, yang dipimpin Djan Faridz, mendeklarasikan dukungan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II PPP di Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/1/2016). (Baca: Demi SK Pengesahan, PPP Djan Faridz Akan Dukung Pemerintah)
Partai Demokrat yang memilih tetap netral dan tidak memihak pada koalisi mana pun membuat KMP praktis hanya dihuni PKS dan Gerindra.
Semakin banyaknya partai di KMP yang mulai mendekat ke pemerintah membuat kekompakan KMP di parlemen berubah. KMP tidak lagi satu suara.
Hal ini terlihat dalam pengesahan RUU APBN 2016 dengan hanya Gerindra yang menolak karena adanya penyertaan modal negara hingga dalam kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden yang menyeret Setya Novanto.
Selanjutnya: Eksis atau bubar?
Eksis atau bubar?
Dengan semakin banyaknya partai di KMP yang mulai merapat ke pemerintah, Partai Gerindra pun akhirnya bersikap. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani di Kompleks Parlemen, Kamis (4/2/2016), menyatakan bahwa KMP secara de facto telah bubar.
"Hampir setahun setengah, satu per satu mrotol karena itu (beri dukungan). Secara de facto, KMP sudah bubar," kata Ahmad Muzani. (Baca: Gerindra: Secara "De Facto" KMP Sudah Bubar)
Hal serupa juga diutarakan Ketua DPP Partai Gerindra Desmond J Mahesa. Ia membenarkan bahwa partainya menganggap Koalisi Merah Putih (KMP) saat ini sudah bubar.
Bahkan, kata Desmond, keputusan untuk membubarkan KMP ini sudah diputuskan dalam rapat internal DPP Partai Gerindra yang dihadiri Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
(Baca: Aburizal Bakrie: Yang Bilang KMP Bubar Siapa?)
Pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara, berpendapat sama. Menurut Igor, setidaknya terdapat dua penyebab bubarnya KMP.
Pertama, faktor eksternal dalam bentuk politik pragmatisme yang dilakukan pemerintah. Igor menilai, pemerintah telah sukses membuat koalisi gemuk pemerintahan demi memuluskan berbagai kebijakan di parlemen.
Faktor kedua berasal dari internal KMP. Perpecahan demi perpecahan terjadi di tiap-tiap partai sehingga arah politik sangat ditentukan dengan keinginan untuk mendapat keuntungan.
"Salah satunya isu pergantian Fahri Hamzah dari kursi pimpinan DPR," kata Igor, saat dihubungi, Jumat (5/2/2016).
(Baca: Menuju Koalisi Gemuk Jokowi-JK, Musibah atau Berkah?)
Meski demikian, berkaca dari perpecahan di KMP, Partai Gerindra bisa meraup keuntungan dari kekonsistenannya untuk tidak tergoda mendekati pemerintah. Hal ini, menurut Igor, akan didapatkan Gerindra untuk merebut dukungan publik pada Pemilu 2019.
Lebih lanjut, Igor berpendapat, pembubaran KMP seharusnya dilakukan melalui suatu pengumuman terbuka, seperti saat KMP kali pertama dideklarasikan.
Adapun yang dinilai paling berhak untuk menyatakan pembubaran KMP adalah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
Jika tak ada pernyataan resmi yang disepakati bersama dengan ketua-ketua umum lainnya, nasib KMP di parlemen ke depan menjadi tidak jelas. Hidup segan, mati tidak mau....