Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hatta dan Kita

Kompas.com - 05/02/2016, 18:35 WIB

Hatta melakukan semua itu tak dengan pekik, gemuruh, dan arak-arakan massa, tetapi dengan cara-cara senyap, lewat pendidikan dan kaderisasi. Bagi Hatta, masa politik ramai itu harus lekas diakhiri dan sudah semestinya beralih pada cara-cara rasional. Zaman hiruk-pikuk Diponegoro telah khatam, kilatan pedang model Teuku Umar sudah usai, harus berganti lewat pendidikan rakyat yang solid, terarah, sistematis, dan jelas. Di titik ini tentu ia berseberangan dengan Soekarno yang sangat terobsesi pada pengerahan massa, pidato di tengah khalayak, sekaligus politik gempita di tengah lapangan dengan teriak manifesto revolusinya yang dipandang belum selesai.

Politik akal sehat

Bagi Hatta, politik bukan sekadar bagaimana meraih kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu digarami dengan nyala jiwa, dengan keutamaan, sikap lurus, dan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadikan kepentingan bersama sebagai titik pijaknya dengan orientasi secepatnya mendistribusikan kemakmuran kepada masyarakat luas. Napas seperti ini kemudian terbaca dalam UUD 1945, terutama pasal-pasal tentang hak berserikat dan kekayaan alam yang seharusnya dikuasai negara yang notabene pasal-pasal seperti ini datang dari usulan Hatta.

Segala bentuk tirani dan kediktatoran bukan saja tidak layak hidup dalam sebuah sistem pemerintahan, melainkan dengan segenap kekuatan harus dilawan. Segala tindakan yang bertentangan dengan jiwa demokrasi, siapa pun yang melakukannya-termasuk presiden sekalipun-harus diingatkan, "Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki, membuka jalan untuk lawannya diktator."

Hatta juga yang menggeser sistem presidensial menjadi sistem demokrasi parlementer melalui Maklumat X, 16 Oktober 1945. Tumbuh suburnya partai dianggap sebagai alamat sehat berkembangnya demokrasi. Namun, pada saat yang sama, seperti dicatat dalam "Demokrasi Kita", Hatta dengan telak mengecam kaum politisi dan partai-partai yang hanya menjadikan lembaga partai sebagai tujuan dan negara dibajak hanya sebagai alat memburu benda dan melanggengkan kekuasaan semata. Hatta menghardik lembaga politik yang terus menggelar percekcokan tak berujung yang mengakibatkan ekonomi telantar, daerah bergejolak, nilai mata uang merosot, dan pembangunan berjalan tidak semestinya.

Walaupun Hatta berhenti dari jabatan wakil presiden dan demokrasi semakin tidak jelas juntrungannya di tengah kekuasaan yang semakin terkonsentrasi pada Bung Besar, Hatta tetap menyimpan harapan terhadap masa depan demokrasi karena, baginya, demokrasi adalah sistem terbaik, sistem yang dapat diandalkan mendekatkan cita-cita dengan kenyataan. "Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Namun, setelah mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan". Sekaligus harapan itu tumbuh berbarengan dengan sebuah keyakinan futuristik lainnya bahwa segala bentuk kediktatoran pada akhirnya akan roboh serupa rumah dari kertas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com