Warisan literasi
Satu hal yang menjadi pembeda pokok Hatta dari manusia pergerakan lainnya, apalagi dengan politikus abad XXI, adalah persahabatannya yang intim dengan buku. Berpeti-peti bukulah yang dibawa dari Belanda, buku pula yang harus diikutkan berdus-dus ke tempat pengasingan di Banda Neira. Dalam sebuah seloroh disebutkan bahwa istri pertama Hatta itu adalah buku dan, setelah itu, Rachmi Rahim. Pada hari bahagia perkawinan Sang Proklamator, yang menjadi hadiah kepada sang istri itu adalah buku filsafat yang ditulis di penjara Boven Digul (1934), Alam Pikiran Yunani.
Sejak belia, Hatta terbiasa membacamenulis, terus berlanjut sampai lanjut usia. Seperti dalam pelacakan Harry A Poeze (KPG-Tempo, 2010), "Ada lebih kurang 151 judul buku tulisan Bung Hatta, 42 buku tentang Bung Hatta, dan 100-an artikel Bung Hatta di beberapa majalah Belanda yang ada di koleksi perpustakaan kami."
Hatta bukan hanya telah mewariskan kemerdekaan kepada kita. Ia telah meretas jejak politik yang sehat, bersahaja, dan penuh dedikasi, tetapi juga telah mewakafkan gagasan-gagasan besarnya untuk kita baca. Merenungkan jejak langkah Hatta menjadi penting kita lakukan justru di tengah suasana politik kebangsaan hari ini yang sepertinya telah kehilangan kompas. Sepanjang mata memandang, yang kita temukan adalah kaum politikus yang sibuk mengurus diri sendiri dan sisanya adalah percekcokan dan percakapan politik seputar isu partisan keagamaan, perkauman, dan nalar sempit berjangka pendek lainnya. Kita camkan Hatta, "Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya".
Asep Salahudin
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya; Dosen di FISS Unpas, Bandung
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Hatta dan Kita".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.