Menurut dia, UU Intelijen dan UU Terorisme saat ini masih kurang memberikan wewenang maksimal bagi BIN dalam memberantas teroris.
"Jika ingin penanganan terorisme di Indonesia lebih memberikan rasa aman, perlu perbaikan di dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme. Di mana BIN diberikan kewenangan yang lebih, yaitu penangkapan dan penahanan," kata Sutiyoso di kantornya, Jumat (15/1/2016).
Dalam kasus serangan teroris di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016) kemarin, ia mengaku, BIN telah memberikan sinyalemen kepada aparat keamanan atas rencana serangan tersebut.
(Baca: Takut Simpang Siur, Kapolda Enggan Ungkap Nama Pelaku Teror Kawasan Sarinah)
Namun, BIN sulit memberikan kepastian kapan serangan itu akan terjadi lantaran aksi teroris tidak terikat ruang dan waktu.
"BIN sudah menyampaikan kemungkinan adanya serangan pada tanggal 9 Januari 2016, tetapi ternyata kan tidak terjadi," kata dia.
Dia menambahkan, BIN telah menjalankan fungsi dan tugasnya dalam upaya mendeteksi serangan teroris tersebut. Wewenang deteksi itu diatur di dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
(Baca: Jejak Bahrun Naim, dari Upaya Penyerangan Obama hingga Calon Pemimpin ISIS)
Pasal 31 pada UU itu menyebutkan, BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran.
"Tapi, di Pasal 34 wewenang BIN dibatasi. Karena penggalian itu hanya dapat dilakukan tanpa tindak lanjut melakukan penangkapan dan penahanan," ujarnya.
Lebih jauh, ia mengatakan, sering kali informasi yang diberikan BIN tidak ditindaklanjuti oleh Polri. Hal itu disebabkan adanya keterbatasan yang dimiliki Polri yang bertugas melakukan penangkapan dan penahanan.
"Contohnya, ada pelatihan teroris yang disampaikan oleh BIN, tidak bisa ditindaklanjuti karena alat bukti kurang memadai," kata dia.