Pembicaraan perpanjangan bisa dilakukan kapan saja, yang dilarang adalah menandatangani perjanjian baru tanpa mengindahkan aturan.
Wajar jika Freeport meminta jaminan hukum investasi jangka panjang, karena jangka waktu akan berakhir 2021, sementara dalam waktu ini dilarang ekspor hasil mentah dan wajib divestasi.
Namun, juga tidak rasional jika setelah setengah abad lebih kontrak berlangsung, syarat dan ketentuan dianggap masih sama seolah zaman tidak berubah (ceteris paribus).
Peraturan dan rezim sudah berganti, begitu pun paradigma juga sudah berubah. Dahulu perpanjangan semacam ini biasa dilakukan oleh pemerintah dengan cara "mengendap-endap" agar rakyat tidak tahu, namun sekarang tentu saja tidak.
Dalam kasus Freeport kita sering mendengar, jika kontrak tidak diperpanjang, maka akan terjadi sengketa arbitrase internasional, eskalasi instabilitas bermotif SARA, separatisme, embargo ekonomi atau invasi, seperti di Timur Tengah, dan lain lain. Isu-isu demikian harus dipandang sebagai teror yang mencoba menggoyahkan pendirian bangsa dalam menegakkan konstitusi.
Padahal, jalan keluar sudah ada, yakni memahami masalah dan memegang teguh aturan dan prinsip-prinsipnya, karena masalah Freeport bukanlah soal bisnis semata. Dengan pendekatan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan, pintu penyelesaian akan terbuka.
Kuncinya adalah keadilan dan niat baik bersama, karena semua negara ingin menyejahterakan rakyatnya.
Kontrak hanyalah tulisan yang dapat diubah kapan saja, namun tujuan utamanya tetaplah kemaslahatan bersama rakyat, utamanya Papua dan Indonesia.
Junaidi Albab Setiawan
Advokat, Pengamat Hukum Pertambangan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Freeport dan Pemimpin Kita".