Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden dan Rokok

Kompas.com - 30/11/2015, 18:00 WIB

Oleh: Hasbullah Thabrany

JAKARTA, KOMPAS - Tidak jelas apakah Presiden Joko Widodo menyadari risiko masa depan dari investasi industri rokok sekarang.

Sekembalinya Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika bulan lalu, Sekretariat Negara dalam lamannya merilis komitmen investasi lebih dari 15 miliar dollar AS. Yang menarik adalah di situ termasuk investasi 1,9 miliar dollar AS (lebih dari Rp 25 triliun) Philip Morris, sebuah industri rokok.

Kini Philip Morris menguasai lebih dari 30 persen pangsa pasar rokok yang bernilai lebih dari Rp 300 triliun setahun.

Sebelum keberangkatan Presiden, isu tentang itu sudah beredar. Para penggiat pengendali rokok melihat investasi Philip Morris akan menjadi beban biaya kesehatan dan kerusakan generasi muda masa depan.

Kedekatan Istana dengan industri rokok sesungguhnya bukan hal baru. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto biasa membagikan dua kotak rokok kepada tamu atau undangan rapat di Istana.

Dari semua presiden yang pernah memimpin negeri ini, hanya Presiden Habibie yang memiliki keberpihakan kendali rokok yang jelas.

Pemahaman risiko masa depan

Sesungguhnya pemimpin dunia telah memahami bahwa konsumsi rokok berisiko bagi kesehatan dan produktivitas bangsa di masa depan. Kerugian ekonomis konsumsi rokok berkali-kali lipat dari penerimaan cukai negara.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data di Indonesia paling sedikit 500 orang mati setiap hari akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Kementerian Kesehatan mengungkap kerugian ekonomis akibat rokok mencapai lebih dari Rp 370 triliun pada tahun 2012.

Apakah investasi Philip Morris tak menambah kematian dan kerugian negara di masa depan? Tak mudah meyakinkan dan mewujudkan keyakinan menjadi kebijakan.

Masalahnya, efek asap rokok tidak kasatmata dan tak masif seperti efek asap kebakaran hutan. Publik pun tak mudah merasakan dampak buruk asap rokok.

Ada kekhawatiran bahwa investasi Philip Morris lebih banyak menguntungkan investor asing sekarang dan menyisakan risiko besar bangsa di kemudian hari.

Tidak jelas apakah Presiden Jokowi memahami masalah rokok dan risiko masa depan tersebut. Bisa jadi beliau memahami risiko di masa depan, tetapi beliau bersikap masa depan adalah urusan presiden nanti. Urusan sekarang adalah mendapat investasi sesuai target.

Bisa jadi beliau tidak tahu-menahu tentang investasi Philip Morris ini, tetapi tim investasi dan tim industrilah yang memutuskan.

Kementerian Perindustrian telah mengubah rencana produksi rokok dari 260 miliar batang di tahun 2015 menjadi hampir 400 miliar batang dan menargetkan produksi sampai 500 miliar batang.

Jika produksi itu untuk dalam negeri, artinya setiap orang Indonesia, termasuk bayi baru lahir, harus dipengaruhi agar merokok sampai sekitar 2.000 batang rokok. Jika hal ini benar, tim investasi menjerumuskan Presiden.

Di lain pihak, Kementerian Kesehatan dan komitmen dunia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditandatangani Wapres Jusuf Kalla justru menargetkan penurunan konsumsi rokok.

Bisa jadi Presiden tahu dan sadar akan risiko masa depan, tetapi Presiden tak mampu mencari industri lain yang menyehatkan rakyat yang mau berinvestasi.

Karena itu, pilihan berisiko diambil. Jika hal ini benar, keberpihakan Presiden kepada rakyat banyak yang menjadi ikon dirinya merupakan kosmetik belaka.

Bisa jadi semua kebijakan ekonomi yang menyangkut konsumsi rokok lebih banyak dipengaruhi pemilik industri rokok besar. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 1.000 industri rokok kecil sudah gulung tikar, tak mampu bersaing dengan industri besar.

Bisa jadi, tim di kabinet ini berutang budi kepada industri rokok besar yang telah membantu memuluskan pemilu. Apa boleh buat, hal itu merupakan konsekuensi politik demokrasi.

Banyak lagi yang mungkin terjadi. Apakah pengambil keputusan memahami secara komprehensif masalah dan situasi rokok? Hanya para pelakulah yang mengetahui.

Lain dulu lain sekarang

Bisa jadi para pejabat merasa hanya meneruskan kebijakan masa lalu. Ketika Pak Harto membagi-bagikan rokok, dunia belum memiliki bukti luas tentang bahaya rokok.

Dulu produksi dan penjualan daun ganja belum dilarang. Dulu di pesawat udara merokok dibolehkan. Dulu pemilik industri rokok adalah putra bangsa, kini hampir didominasi investor asing.

Dulu di banyak negara maju merokok di dalam gedung tidak dilarang. Kini merokok di taman yang banyak anak-anak pun dilarang di negara maju. Dulu pemimpin agama menyatakan merokok makruh hukumnya.

Kini Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan pemimpin agama di banyak negara Islam mengeluarkan fatwa haram merokok.

Masalah terbesar konsumsi rokok adalah dampak buruk yang terjadi secara perlahan/lamban. Kelambanan perubahan menjadi biang keladi rendahnya daya saing. Seekor katak yang diletakkan dalam air yang perlahan-lahan dipanaskan akan kehilangan kemampuan melompat.

Masyarakat juga tidak menyadari bahaya rokok karena ketidakmampuannya mendeteksi bahaya yang terjadi secara lamban.

Reaksi pemerintah dalam mengatasi asap kebakaran hutan relatif cepat karena masyarakat secara kasatmata merasakan bahayanya. Namun, reaksi pemerintah dan juga para ulama nahdliyin dalam menyikapi kerusakan akibat asap rokok sangat lamban.

Reaksi buruh rokok industri kecil yang bangkrut dan reaksi petani tembakau merasa terancam lebih tampak. Pemerintah pun terjebak pada kebijakan reaktif, bukan kebijakan strategis.

Kontroversi kebijakan tentang rokok masih akan berlangsung cukup lama. Ketiadaan peta jalan pengendalian rokok yang komprehensif mengancam masa depan lebih dari 100 juta rakyat yang telah kecanduan atau terpaksa menghirup asap rokok secara pasif.

Perempuan dan generasi muda dari kalangan ekonomi bawah dan berpendidikan rendah merupakan kelompok paling rentan. Pemerintah akan berani bersikap tegas jika terjadi tekanan publik yang kuat.

Sayangnya, pemahaman, sikap, dan keberanian penduduk kelas menengah mewujudkan tekanan publik belum cukup kuat.

Bagaimana nasib bangsa ke depan? Tergantung kejelian pemimpin sekarang melihat peluang dan risiko masa depan serta keberanian mereka berpihak kepada kepentingan masa depan rakyat banyak.

Hasbullah Thabrany
Chair, Center for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Presiden dan Rokok".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggap Jokowi Bukan Kader Lagi, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Anggap Jokowi Bukan Kader Lagi, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com